Pengelolaan Dana Desa dan Peran Polri

3/01/2018
Jumlah alokasi Dana Desa selama empat tahun terakhir naik terus. Sejak 2015, puluhan triliun Dana Desa dari APBN digelontorkan untuk desa. Dana Desa pertama kali dianggarkan sebesar Rp20,77 triliun pada 2015. Kemudian jumlahnya meningkat menjadi Rp46,98 triliun pada 2016. Peningkatan juga terjadi pada tahun anggaran 2017 dan 2018

Peningkatan alokasi anggaran ini tentunya beserta harapan dampak positif bagi desa. Terutama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Akan tetapi, seiring meningkatnya alokasi anggaran, potensi terjadinya korupsi juga akan semakin besar.


Persoalan Dana Desa

Untuk dapat menemukenali potensi korupsi Dana Desa, bisa berkaca pada kasus-kasus penyalahgunaan dana bantuan sosial (bansos) atau dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang mudah terjadi di berbagai daerah. 

Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam laporan hasil kajian "Pengelolaan Keuangan Desa: Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa terdapat", terdapat 14 temuan persoalan pengelolaan Dana Desa. Ada empat aspek yang menjadi sorotan, yaitu (1) regulasi dan kelembagaan, (2) tata laksana, (3) pengawasan, dan (4) sumber daya manusia.

Pada aspek tata laksana, ada persoalan kerangka waktu pengelolaan anggaran yang sulit dipatuhi oleh tiap-tiap desa. Selain itu, satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan acuan dalam menyusun anggaran belum tersedia. Belum lagi permasalahan seputar transparansi rencana dan penggunaan dana, juga soal laporan keuangan desa yang belum sesuai standar.

Dalam aspek pengawasan, KPK menyoroti masih rendahnya efektivitas kerja inspektorat di daerah. Mekanisme pengaduan masyarakat pun belum terkelola dengan baik, cenderung mengarah pada pengaduan ke level pemerintah pusat. 

Tidak hanya KPK yang menyorot soal pengelolaan Dana Desa. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menggarisbawahi 82,2 persen penggunaan dana desa diperuntukkan dalam konteks pembangunan infrastruktur. Contohnya pembangunan jalan aspal, irigasi, talud, dan sebagainya. 

Hanya 7,7 persen penggunaan Dana Desa yang mencakup pemberdayaan, misalnya pelatihan untuk kelompok PKK, karang taruna, pelatihan perangkat desa, dan lain-lain.  Artinya, penggunaan Dana Desa masih bekerja dalam konteks "uang program" atau "proyek". 

Cara pandang yang umum terhadap "uang program" atau "proyek" sebaiknya menyalakan alarm potensi penyalahgunaan Dana Desa. Pemerintah dapat berkaca pada kasus-kasus yang terjadi dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Korupsi Dana Desa dan Usulan Melibatkan Kepolisian

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat pada 2017 ada sebanyak 576 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 1.298 orang terjadi di Indonesia. Jika dilihat lebih rinci, penyalahgunaan anggaran menduduki posisi teratas dengan 154 kasus korupsi yang menimbulkan kerugian negara hingga Rp1,2 triliun. 

Berdasarkan sektornya, anggaran desa merupakan sektor yang paling banyak korupsi dengan total 98 kasus dengan kerugian negara mencapai Rp39,3 miliar. Artinya, dana desa merupakan lahan basah dan sangat potensial dikorup.

Sebagai langkah awal penanganan permasalahan dana desa, pada 20 Oktober 2017, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Sandjojo bersama dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Kapolri Jendral Tito Karnavian menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman tentang pencegahan, pengawasan dan penanganan masalah dana desa. MoU itu mengatur bahwa pelibatan aparat kepolisian dirasakan diperlukan.

Unsur Polri yang dilibatkan adalah Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas), Kepala Kepolisian Sektor (kapolsek) hingga Kepala Kepolisian Resor (Kapolres).

Kapolri Tito menyambut baik nota kesepahaman tersebut. Ia menyatakan akan memberi penghargaan bagi jajarannya yang berhasil mengamankan dana desa. “Wilayah Kapolda, Kapolsek, Babinkamtibmas yang saya anggap berprestasi, mampu mengawal dan mendukung agar dana betul-betul efektif saya akan berikan reward,” ujarnya.

Kesepakatan itu mengasumsikan bahwa aparat terkecil Polri, Babinkamtibmas, akan menjadi ujung tombak pengawasan di setiap desa. Permasalahannya, Polri sendiri belum mampu mencukupi rasio keterwakilan aparatnya di setiap desa: untuk 1 Bhabinkamtibmas untuk 1 desa. 

Dalam paparan kebijakan Kapolri, jumlah personel Bhabinkamtibmas sebanyak sebanyak 54.285 personel. Bahkan, dari jumlah yang ada tersebut, masih ada 14.956 personel yang merangkap tugas. Untuk target program kamtibnas Polri yang menjangkau 81.711 desa di seluruh Indonesia, berarti Polri masih masih kekurangan 27.426 personel Bhabinkamtibnas. 

Sementara itu, untuk program dana desa 2018 yang menjangkau 74.958 desa, Polri memiliki kekurangan 20.673 personel Bhabinkamtibnas. Perbandingan ini belum memperhitungkan personel yang selama ini merangkap tugas, baik bekerja untuk lebih dari satu wilayah desa, ataupun tugas lainnya. 

Selain kekurangan petugas, infrastruktur penunjang kinerja kepolisian juga masih jauh dari cukup. Sampai hari ini, diketahui masih banyak daerah yang tidak memiliki pos polisi. 

Data statistik kriminal BPS menunjukkan, pada 2014, hanya sekitar 10,6 persen desa atau kelurahan di Indonesia yang di wilayahnya terdapat pos polisi, termasuk polsek, polres, dan polda. Keberadaan pos polisi yang paling banyak ada di provinsi Jawa Timur yaitu 949 pos polisi dan Jawa Barat sebanyak 813 pos. 

Sementara itu, Aceh dan Gorontalo hanya memiliki masing-masing 59 pos polisi. Secara keseluruhan, memang sebanyak 71,3 persen desa/kelurahan yang tidak memiliki pos polisi menyatakan bahwa akses ke pos polisi terdekat cenderung mudah.

Saat ini, selain menjaga keamanan dan ketertiban, kepolisian mendapat amanat tambahan untuk melakukan pengawalan dana desa. Apakah kepolisian bisa menanggung tugas itu, di samping tugas yang sudah ada sebelum pemberlakuan dana desa? 

Merujuk pada Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015 pasal 27, aparat Bhabinkamtibmas memiliki tugas pokok untuk melakukan pembinaan masyarakat serta menjaga situasi desa/kelurahan agar tetap kondusif. Menurut pasal 26, ia juga berperan sebagai perantara untuk menjaga hubungan baik antar-masyarakat serta menjadi kepanjangan tangan kepolisian dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Pelibatan Bhabinkamtibnas cukup beralasan. Pemerintah pusat memerlukan deteksi dan pelaporan dini cepat dari tenaga aparat yang bekerja menggunakan garis komando terpusat atau top-down. 

Merujuk penelitian Benjamin A. Olken yang berjudul "Monitoring Corruption: Evidence from a Field Experiment in Indonesia" (2005); traditional top-down monitoring berperan dalam mengurangi potensi korupsi, bahkan dalam situasi yang dikenal sangat koruptif sekalipun. Olken memang tidak sedang membicarakan program dana desa, tapi hasil studinya yang melihat 600 proyek pembangunan jalan desa di Indonesia menarik untuk diperhatikan.

Namun, partisipasi masyarakat juga harus diperhatikan, apalagi jika melihat kurangnya personel Bhabinkamtibnas dan infrastruktur pos polisi di atas. Masyarakat bisa terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan evaluasi pembangunan.

Tanpa pelibatan masyarakat, Dana Desa akan dilihat sekadar sebagai bagi-bagi uang proyek. Alih-alih memberdayakan dan membikin makmur desa, bisa-bisa dana desa malah merusaknya.***

Share this

Tulisan Terkait

Previous
Next Post »

Tidak ada komentar:

Posting Komentar