Desa hari ini menempati strata yang teramat penting dalam proses pembangunan nasional. Desa tidak lagi menjadi objek, ia adalah subjek pembangunan kiwari. Desa hari ini diletakkan sebagai pusat (center). Desa diberi keleluasaan untuk merencanakan, menganggarkan, melaksanakan, melaporkan serta mempertanggungjawabkan sendiri pembangunannya. Ada kewenangan lebih kepada pemerintah desa untuk membangun sesuai kebutuhan lokal. Ditambah ada “kue” ekonomi lebih yang mengguyur desa melalui kucuran Dana Desa dari pemerintah pusat. Dus, membaca “konstelasi” desa hari ini harus utuh dari kacamata orde UU No. 06 tahun 2014.
Pasal 1 angka 8 UU No. 6 Tahun 2014 mendefinisikan pembangunan desa sebagai upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Pada Pasal 78 ayat 1 memberikan penegasan bahwa Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan (Abidin, 2015).
Salah satu aspek yang paling menyita perhatian adalah adanya Dana Desa. Dana Desa sebagaimana dijelaskan panjang lebar dalam PP No. 60 tahun 2014 jo. PP No. 22 tahun 2015 merupakan dana yang bersumber dari APBN yang khusus diperuntukkan untuk (pembangunan di) desa. Mekanisme Dana Desa ini menjadi salah satu pembeda ketika memaknai perubahan orientasi pembangunan yang menempatkan Desa sebagai poros pembangunan. Jumlahnya tidak main-main. Tahun 2015, ada Rp 20,6 Trilyun yang dikucurkan, sementara tahun 2016 ini dialokasikan 47 Trilyun untuk Dana Desa. Jika dirata-rata, setiap desa (tercatat lebih dari 74 ribu desa di Indonesia) akan mendapatkan kucuran sekitar Rp 700 juta per tahun dari Dana Desa ini tahun 2016. Jumlah ini akan meningkat seiring kekuatan APBN di tahun mendatang.
Tambahan luncuran Dana Desa ini menghadirkan paradigma baru dalam pengelolaan keuangan di desa. Tujuan mulia menjadikan desa lebih berdaya harus diikuti dengan tambahan tanggung jawab kepada segenap penyelenggara pemerintahan di desa dalam mengelola keuangannya. Pengelolaan keuangan desa tidak bisa dipandang sebagai sebuah proses yang tidak berisiko. Di dalam sebuah Warta Pengawasan BPKP (2015) disebutkan bahwa kita harus berpikir ulang untuk meremeh pengelolaan keuangan desa. Undang-Undang yang ada telah mengatur bahwa mekanisme pengelolaan keuangan desa saat ini mirip dengan mekanisme pengelolaan APBD Provinsi/ kabupaten/kota. Demikian juga termasuk dengan perihal manajemen aset. Pengelolaan APBD provinsi/kota/kabupaten yang didukung dengan SDM yang lebih baik dan berpengalaman saja masih sering terjadi penyimpangan. Pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan kondisi di desa?.
BPKP tahun 2015 telah mengelompokkan kemungkinan permasalahan atau risiko dalam pengelolaan keuangan desa diantaranya 1) Program dan Kegiatan pada RPJMDes, RKPDes, dan APBDes tidak sesuai aspirasi/kebutuhan masyarakat desa; 2) Kegagalan menyelenggarakan Siklus Pengelolaan Keuangan Desa yang sehat; 3) Kegagalan atau keterlambatan penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Desa, termasuk Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan APBDes; 4) Pengelolaan Aset Desa yang tidak efisien dan efektif (Warta Pengawasan, 2015). Sedangkan beberapa risiko kecurangan (fraud) yang dapat terjadi dalam pengelolan keuangan desa, antara lain : 1) Penggunaan Kas Desa secara tidak sah (Theft of Cash on Hand); 2) Mark up dan atau Kick Back pada Pengadaan Barang/Jasa; 3) Penggunaan Aset Desa untuk kepentingan pribadi Aparat Desa secara tidak Sah (misuse atau larceny) Aset desa, berupa sarana kantor, tanah desa, peralatan kantor ataupun kendaraan kantor; atau 4) Pungutan Liar (illegal Gratuities) Layanan Desa.
Profil kepala desa selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa sesuai dengan survei BPS tahun 2013 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan kepala desa yang berpendidikan SMA sebanyak 66,35 persen. Untuk tingkat pendidikan S- 1/S-2/S-3 sekitar 16,21 persen. Dengan kata lain, 82,56 persen kepala desa memiliki tingkat pendidikan minimal SMA (Abidin, 2015). UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menempatkan kepala desa dalam posisi sentral dalam kedudukannya yang dekat dengan masyarakat sekaligus pemimpin masyarakat. Sedangkan dalam pengelolaan keuangan, sebagaimana tersurat dalam Permendagri No. 37 Tahun 2007, kepala desa dibantu oleh sekretaris desa yang bertindak selaku koordinator pelaksanaan pengelolaan keuangan desa dan bertanggung jawab kepada kepala desa. Berkenaan dengan penyusunan laporan keuangan, survei BPS tahun 2013 menyebutkan bahwa penyusunan laporan keuangan desa dilakukan oleh sekretaris desa (41,65 persen), kepala urusan (30,48 persen) dan dilakukan sendiri oleh kepala desa atau 14,66 persen (Abidin, 2015).
Pemerintah Provinsi Jawa Timur menaruh perhatian penting guna menyiapkan pemangku kepentingan di desa siap mengelola pembangunan di desa, terlebih aspek pengelolaan keuangannya. Bekerjasama dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan BPKP Jawa Timur, tahun 2016 ini seluruh Sekretaris Desa (Sekdes) se Jawa Timur dikumpulkan mengikuti pendidikan dan pelatihan terkait Pengelolaan Keuangan Desa, mulai awal Februari lalu hingga bulan Oktober nanti (10 putaran) di Surabaya dan Malang. Kegiatan ini merupakan rangkaian program setelah tahun 2015 lalu juga melatih para Kepala Desa se-Jawa Timur untuk hal serupa. Penulis merupakan salah satu instruktur yang terpilih mendampingi para Sekdes ini memahami tugas pokok dan fungsinya dalam menjalankan amanat UU No. 6 tahun 2014 ini dalam beberapa putaran pelaksanaan. Berdasarkan Diklat yang berlangsung selama 5 hari (setiap putaran), ada beberapa catatan penting yang perlu menjadi perhatian penting seluruh pihak terkait. Pertama, persoalan perubahan paradigma penyelenggara pemerintahan desa (mind set shifting). Berdasarkan pengalaman berinteraksi dengan Kepala Desa dan Sekretaris Desa (termasuk dalam Diklat Pengelolaan Keuangan Desa ini), tambahan tanggung jawab (terutama aspek pengelolaan keuangan desa, wa bil khusus Dana Desa) masih dianggap “angin lalu” saja, khususnya dalam benak Kepala Desa. Masih tertancap kuat bahwa peran dan fungsi kepala desa masih seperti era sebelumnya. Ia adalah segalanya, semacam “raja kecil” yang bisa menentukan dan berbuat sesukanya. Tengara ini terkonfirmasi pada hasil riset yang dilakukan oleh Rohmah, Zuhdi dan Setiawan (2016). Berdasar penelusurannya dengan pendekatan kualitatif pada sebuah desa di Jawa Timur, mereka menyimpulkan bahwa atas pengelolaan keuangan Dana Desa di tahun pertama (2015), mindset bahwa kepala desa adalah “raja kecil” yang memegang kuasa sepenuhnya atas uang yang dikelola pemerintah desa tidak terbantahkan. Praktis, lagi-lagi berkaca pada riset Rohmah, Zuhdi dan Setiawan (2016) pengelolaan keuangan desa (termasuk Dana Desa di dalamnya) kurang melibatkan aktor lainnya di desa, seperti sekretaris desa, bendahara desa, pun juga anggota Badan Perwakilan Desa (BPD).
Dalam konstruksi Pasal 3 Permendagri No. 113 No. 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa memang disebutkan bahwa Kepala Desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa serta mewakili Pemerintah Desa dalam kepemilikan kekayaan milik desa yang dipisahkan. Namun, mengingat beratnya tanggung jawab, Kepala Desa tidak lagi dapat bertindak seenaknya. Pelaksana Teknis Pengelola Keuangan Desa (PTPKD) yang terdiri dari Sekdes, Kepala Seksi dan Bendahara merupakan struktur yang dibentuk aturan perundangan untuk membantu Kepala Desa. Sayangnya, di sebagian besar desa, fungsi ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Banyak Kepala Desa yang masih one man show. Segala aspek pengelolaan keuangan, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban tidak melibatkan seluruh fungsi yang dikehendaki aturan. Kas desa dipegang, dicatat dan dilaporkan sendiri oleh kepala desa menjadi berita jamak yang masih sering didengar. Akibatnya fungsi pengendalian internal tidak berjalan. Modus korupsi di tingkat desa, beberapa hal yang memotivasi Kepala Desa melakukan korupsi (Rahman, 2011) diantaranya pertama, kepala desa sering terkondisikan menjadi ujung tombak segala urusan di desa mulai dari bayi lahir hingga warganya yang meninggal, bahkan setiap acara yang dihelat warga maka kepala desa menurut “kebiasaan” harus memberikan sumbangan. Kedua,kepala desa terpilih berdasarkan sisi elektabilitas bagus namun sisi modalitas ekonomi sangat lemah sehingga terdorong untuk melakukan tindak pidana korupsi. Ketiga, posisi kepala desa menjadi pundi-pundi partai politik di akar rumput. Di tingkat desa pun partai politik menancapkan akar politiknya dengan menempatkan kadernya sebagai kepala desa. Keempat, kurangnya pengawasan dan keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Hal ini karena masyarakat desa biasanya lebih perhatian dan memilih melakukan aktivitas keseharian mereka seperti bertani, berdagang, dan melaut urusan pemerintahan, penganggaran dianggap merupakan pekerjaan orang-orang pintar, atau tokoh desa saja.
Perlu adanya “kampanye” terus menerus kepada seluruh pihak terkait yang ada di desa untuk memahami dan menjalankan fungsinya masing-masing. Bendahara Desa memegang dan melaporkan keuangan, Sekretaris Desa menjalankan fungsi kesekretariatan dan otorisasi pelaporan, kepala seksi dan segenap aparatur desa menjalankan kegiatan pembangunan dan kepala desa bertanggung jawab sepenuhnya seluruh proses. Pada proses ini, BPD (Badan Permusyawaratan Desa) yang menjalankan fungsi legislatif di desa juga penting untuk menggunakan taringnya menciptakan check and balances fungsi eksekutif Kepala Desa. SKPD terkait di daerah, mulai BPMP, Bagian Pemerintah Desa Setda, DPPKAD serta Inspektorat perlu terus bersinergi mengawal perubahan paradigma pengelolaan desa ini pada semua pemangku kepentingan di desa.
Catatan kedua yang menyeruak adalah masih lemahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki oleh perangkat Desa. Pelaksanaan pembangunan di desa dengan anggaran yang semakin besar mempersyaratkan kecakapan kompetensi SDM yang memadai. Berdasarkan pengakuan para sekdes, aparatur desa yang mumpuni untuk diajak “berlari” mengikuti perubahan aturan masih minim sekali. Tak jarang, Sekdes (apalagi yang sudah PNS dan berijazah sarjana) harus menjalankan beberapa peran sekaligus, mulai kecakapan ilmu hukum (menyiapkan Raperdes, Raperkades), ilmu teknik sipil (menyiapkan Rincian Anggaran Biaya kegiatan), ilmu pemerintahan (administrasi dan surat menyurat birokrasi) hingga akuntansi (pencatatan dan pelaporan keuangan). Permendesa PDTT No. 3 tahun 2015 tentang Pendampingan Desa, sebenarnya memberikan ruang adanya fungsi asistensi, pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi desa oleh tenaga pendamping profesional. Namun, keberadaan tenaga pendamping ini, sebagaimana diungkapkan oleh para Sekdes, masih belum optimal perannya sesuai yang diharapkan.
Peningkatan kapasitas SDM ini vital pula artinya untuk akselerasi pembangunan di desa. Desa. Dalam jangka panjang, desa diharapkan lebih mampu mandiri dalam kapasitas keuangannya. Ikhtiar optimalisasi potensi desa untuk menambah Pendapatan Asli Desa (PADesa) diharapkan muncul dari kreativitas pengelola pemerintahan desa. Salah satu yang didorong keras adalah pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Kementerian Desa PDTT bahkan sampai merilis Permendesa PDTT No.4 tahun 2015 tentang BUMDes ini untuk menekankan pentingnya BUMDes ini dibentuk dan dioptimalkan keberadaannya. Dalam konteks pemerintah kabupaten/kota, terlihat ada kesadaran juga pada pentingnya BUMDes ini diinisiasi. Program 99 hari kerja Bupati Sumenep terpilih 2016-2021, KH. Abuya Busyro Karim dan Achmad Fauzi misalnya, diantaranya juga menyebutkan tentang pembentukan BUMDes dalam rangka Desa Mandiri sebagai salah satu prioritasnya.
Catatan ketiga berkenaan dengan persoalan aset. Desa diamanahi oleh pasal 116 UU No. 6 tahun 2014 untuk melakukan inventarisasi aset. Jangka waktu yang diberikan adalah 2 (dua) tahun sejak diundangkan. Tujuan inventarisasi aset desa baik yang diperoleh melalui dana desa ataupun hibah bertujuan agar tidak mengakibatkan konflik kepemilikan di kemudian hari. Inventarisasi ini sekaligus berfungsi untuk menjadi alat pencegahan dari segala kemungkinan adanya gugatan dari ahli waris atas hibah aset di kemudian hari kepada Desa.
Permasalahan agraria berkenaan dengan status kepemilikan aset berupa tanah desa sangat bervariasi kasus-kasusnya sehingga mendesak perlu ada koordinasi dan harmonisasi penyelesaian diantara Pemerintah Desa, Pemda, dan BPN agar aturannya jelas dan terselesaikan serta memudahkan desa melakukan pendataan dan pencatatan inventarisasi aset milik desa dengan lengkap dan sah dengan penilaian sesuai dengan aturan yang ada.
Pelbagai permasalahan yang masih menyeruak seputar pengelolaan keuangan desa di atas merupakan pekerjaan rumah bersama yang mesti dicarikan jalan keluar. Beberapa titik kritis di atas seyogyanya menjadi pekerjaan rumah bersama yang perlu dirumuskan solusinya pada tahapan awal implementasi otonomi desa dalam aspek pengelolaan keuangan ini. Penting dicatat, apa yang coba dituliskan ini masih di berkisar pada aspek pengelolaan keuangan, salah satu bagian saja dari semangat paradigma baru pembangunan di desa. Aspek pelibatan masyarakat desa seutuhnya dalam proses pembangunan adalah tahapan berikutnya yang harus digarap. Kepentingan dan kebutuhan setiap desa adalah sangat khas. Variasinya begitu beragam antar desa. Masyarakat penghuni desa itulah yang mengerti dan memahami prioritas kebutuhannya. Ketika seluruh unsur masyarakat berada pada frekuensi yang sama dalam memaknai paradigma baru pembangunan desa, maka seluruh sistem pengelolaan akan seturut nafas dan nawaitu mulia yang melatari lahirnya UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa.
Pemberdayaan masyarakat harus terus digelorakan. Pengejawantahan persoalan tiap desa ke dalam prioritas perencanaan dan penganggaran pembangunan memerlukan sinergisitas setiap unsur masyarakat di desa, termasuk aspek pengawasan pelaksanaannya. Optimisme harus terus dibangun. Waktu masih panjang untuk merealisasikannya. Segenap persoalan yang masih mengungkung tidak boleh menjadi alasan mundur ke belakang. Seluruh pihak, termasuk media, penting menempatkan isu tentang pengeloloaan (keuangan) desa ini sebagai topik penting. Muara akhirnya jelas: Desa harus lebih berdaya, sejahtera dan maju secara berkelanjutan. Pelimpahan wewenang dan penambahan tanggung jawab yang dikelola desa perlu diarahkan bagi pencapaian tujuan-tujuan mulia tersebut, alih-alih hanya menjadi bancakan para pengelolanya. Semoga.
Daftar Pustaka
Abidin, MZ (2015). Tinjauan Atas Pelaksanaan Keuangan Desa Dalam Mendukung Kebijakan Dana Desa (Study of Implementation of Village Finance to Support Fund Village Policy). Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 6 No. 1, Juni 2015 hal 61 – 76.
Rahman, Fathur. (2011). Korupsi di tingkat desa. Jurnal Governance, 2(1), 13-24.
Rohmah, N.F, R. Zuhdi dan A.R. Setiawan (2016). Pengelolaan Dana Desa di Tahun Pertama: Kentalnya Mindset Kepala Desa Sebagai Si “Raja Kecil”. Prosiding Simposium Nasional Akuntansi XIX. Lampung.
_______ (2015).Risiko Pengelolaan Keuangan Desa dan Peran APIP. Warta Pengawasan Vol XXII/Edisi HUT ke 70 RI.
---
Sumber : Achdiar Redy Setiawan
https://www.iaijawatimur.or.id/course/interest/detail/16
Menelusuri Titik Kritis Pengelolaan (Keuangan) Desa
Achdiar Redy Setiawan