Mengoptimalkan UU Desa sebagai Jalan Keselamatan Hidup Rakyat di Perdesaan

11/16/2021 Add Comment

Undang-Undang Desa (UU Nomor 6/2014) telah menciptakan terobosan besar dalam menata ulang relasi negara-desa melalui pemberian otonomi yang cukup luas kepada desa berdasarkan asas rekognisi dan subsidiaritas. Namun, peluang politik ini pada dasarnya barulah merupakan kewenangan legal, yang realisasinya dihadapkan pada persoalan-persoalan struktural yang menahun.

Setidaknya ada (tiga) krisis yang tengah terjadi di perdesaan saat ini. Pertama adalah ‘krisis agraria” yang ditandai oleh keterbatasan akses pada tanah dan sumberdaya alam lainnya (beserta kekayaan alam yang dikandungnya). Kedua adalah “krisis ekologi” yang ditandai oleh kemerosotan daya dukung lingkungan sebagai akibat dari kian tingginya tekanan populasi, perubahan penggunaan tanah yang tidak terkendali, dan terutama eksploitasi sumberdaya alam dalam skala besar. Kedua krisis ini secara bersama-sama menciptakan krisis pedesaan. Ketiga adalah ‘krisis sosial’, yang ditandai oleh tidak berjalannya sistem sosial dan politik di dalam komunitas perdesaan yang bermuara adanya ketidakadilan pembagian kesempatan untuk hidup lebih sejahtera di antara kelompok-kelompok warga di perdesaan itu.

Dalam situasi di mana proses “transformasi agraria” terbukti tidak berlangsung seperti skenario yang lazim diyakini, krisis agraria dan ekologi semakin memerosotkan kapasitas sistem ekologi dan sosial, ekonomi, dan politik di perdesaan (yang memang sudah sangat rentan itu) untuk menyediakan sumber penghidupan, jaminan sosial dan acuan nilai bagi warganya. Mereka yang tidak mendapatkan lagi tempat berpijak di desa, dipaksa oleh keadaan untuk mencari penghidupan baru di tempat lain, seringkali dengan mempertaruhkan keselamatan dan hidup mereka. Fenomena migrasi ke kota dan bahkan ke mancanegara, demikian pula pertumbuhan pesat kawasan kumuh di perkotaan, sebenarnya  merupakan konsekuensi langsung dari terlemparnya penduduk desa akibat krisis pedesaan ini.

Dalam kaitan ini, kehadiran UU Desa pada dasarnya telah menyediakan peluang politik yang besar bagi desa untuk mengorkestrasi inisiatif-inisiatif perubahan yang sudah dilakukan warga dalam rangka menjawab krisis pedesaan yang diuraikan di atas.

Setidaknya ada 5 (lima) perubahan pokok yang dikandung dalam UU Desa yang baru. Kelima perubahan pokok itu tentu saja diharapkan mampu memperbaiki kualitas kehidupan warga negara yang tinggal di desa-desa Indonesia. Perubahan-perubahan pokok dimaksud adalah sebagaimana secara ringkas dapat di lihat pada diagram berikut.


Meski begitu, beberapa studi mutakhir menunjukkan bahwa kondisi di perdesaan pasca pemberlakukan UU Desa dalam dua tahun terakhir belum menunjukkan perubahan yang cukup berarti. Sambodo & Vel (2016) menemukan bahwa akses pada pelayanan kesehatan masih membutuhkan peran kelompok elit desa. Meski pelayanan kesehatan itu pada dasarnya gratis, biaya transaksional untuk memperolehnya tetap tinggi. Pelayanan kesehatan yang (masih) buruk menimbulkan trauma pada masyarakat sehingga hubungan antara warga (utamanya kelompok marginal) dengan pusat-pusat pelayanan kesehatan masih berjarak. 

Mekanisme penanganan masalah ketidakpuasan pelayanan masih sangat rumit dan sulit diakses warga. Demikian pula untuk kasus pendidikan. Motif warga untuk mengikuti program pendidikan masih dilatarbeakangi harapan untuk menjadi pegawai negeri di kemudian hari dan bukan untuk memperbaiki sistem pertanian yang menjadi basih kehidupan hari ini. 

Demikian pula, meski pendidikan sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SLTP) pada dasarnya gratis, begitu pula dengan Program Keluarga Harapan (PKH), namun tetap membutuhkan biaya (tunai) tambahan lain (seperti peralatan sekolah dan transportasi), sementara warga kekurangan uang tunai. Kredit murah yang disediakan pemerintah digunakan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dan bukan untuk pengembangan kegiatan ekonomi.

Sementara itu, kajian yang dilakukan oleh Tim SMERU (2016) menunjukkan bahwa partisipasi penduduk miskin dalam perencanaan pembangunan di desa masih tetap rendah (lihat Tabel berikut).

Partisipasi Warga Miskin dalam Perencanaan Desa

Akibatnya, sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel berikut, alokasi keuangan desa untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh kelompok miskin sangat rendah untuk tidak mengatakannya tidak ada sama sekali.

Alokasi Dana Desa Untuk Kegiatan Pro-Poor

Mekasnisme perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di tingkat desa juga belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Dokumen-dokumen perencanaan seperti RPJMDes, RKPDes, dan APBDesa belum terhubung secara baik antara satu sama lainnya.

Kesesuaian Output Perencanaan dan Penganggaran

Oleh sebab itu, serangkaian upaya yang ditujukan untuk mengoptimalisasi peluangpeluang baru yang ditawarkan oleh UU Desa merupakan suatu keniscayaan. Untuk itulah Sekolah Desa ini perlu diselenggarakan. ***

Sumber: Buku Modul Sekolah Desa (Pengalaman Belajar Undang-Undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa di Provinsi Jambi, Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan)

Dana Desa: Pengertian, Sumber Dana, Penyaluran Dana, dan Prioritasnya

11/14/2021 Add Comment


Kehadiran Dana Desa (DD) menjadikan sumber pendapatan di setiap desa akan meningkat. Meningkatnya pendapatan desa yang diberikan oleh pemerintah untuk meningkatkan sarana pelayanan masyarakat desa berupa pemenuhan kebutuhan dasar, penguatan kelembagaan desa, dan kegiatan lainya yang dibutuhkan masyarakat desa yang diputuskan melalui musyawarah desa (musdes). 

Dengan adanya Dana Desa juga memunculkan permasalahan baru, yaitu tidak sedikit masyarakat yang mengkhawatirkan tentang pengelolaan Dana Desa. Hal ini berkaitan dengan kondisi perangkat desa yang dianggap masih rendah kualitas SDM-nya, dan belum kritisnya masyarakat atas pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDesa) sehingga bentuk pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat tidak dapat maksimal.

Pengertian Dana Desa

Menurut Undang-Undang Desa, Dana Desa didefinisikan sebagai dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui APBD Kabupaten/kota dan digunakan unuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan, kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat.

Sumber dan Mekanisme Penyaluran Dana Desa

Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dialokasikan secara berkeadilan berdasarkan:

  • Alokasi dasar, dan
  • Alokasi yang dihitung memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis desa setiap kabupaten/kota.

Mekanisme penyaluran Dana Desa terbagi menjadi 2 (dua) tahap, yakni tahap mekanisme transfer APBN dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) dan tahap mekanisme transfer APBD dari RKUD ke kas desa.

Mekanisme pencairan dana dan penyaluran Alokasi Dana Desa selengkapnya seperti di bawah ini:

  1. Pencairan Dana Desa dilakukan bertahap dengan persentase tertentu yang telah ditetapkan.
  2. Pencairan pertama diajukan oleh Kepala Desa kepada Bupati melalui Camat disertai dengan kelengkapan administrasi yang telah ditentukan.
  3. Pencairan tahap kedua, dapat dilakuakan apabila penggunaan pada pencairan pertama sudah dipertanggungjawabkan baik secara administratif, secara teknis dan secara hukum.
  4. Pencairan baik tahap pertama maupun kedua dilakukan dengan pemindah bukuan dana dari kas daerah ke rekening kas desa.
  5. Penyaluaran Alokasi Dana Desa dari kas desa kepada pelaku aktivitas (pemimpin pelaksana kegiatan).
Berikut ini adalah prosedur pencairan dana desa kepada pemimpin pelaksana kegiatan:
  1. Bendahara desa mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) kepada Kepala Desa melalui Sekretaris desa yang dilampiri dengan Rencana Kebutuhan Desa (RKD) dan bukti-bukti pengeluaran dana sebelumnya.
  2. Sekretaris desa melakukan verifikasi (penelitian) berkas kelengkapan SPP dan apabila telah dinyatakan lengakap, sekretaris desa menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) yang ditadatangani oleh Kepala Desa.
  3. Bendahara desa setelah menerima SPM dan  surat rekomendasi Camat mencairkan kepada pemegang kas desa pada bank yang ditunjuk.
  4. Dana yang telah dicairkan oleh bendahara desa dibukukan ke dalam Buku Kas Umum (BKU) untuk selanjutnya diserahkan kepada pimpinan kegiatan disertai dengan bukti penerimaan.

Tujuan Dana Desa

Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, tujuan disalurkannya dana desa adalah sebagai bentuk komitmen negara dalam melindungi dan memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis. Dengan adanya Dana Desa, desa dapat menciptakan pembangunan dan pemberdayaan desa menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.

Sementara tujuan Dana Desa adalah:
  1. Mengatasi kemiskinan dan mengurangi kesenjagan.
  2. Meningkatkan kualitas perencanaan dan penganggaran pembangunan di tingkat desa dan pemberdayaan masyarakat desa.
  3. Mendorong pembangunan infrastruktur pedesaan yang berlandaskan keadilan dan kearifan lokal.
  4. Meningkatkan pengamalan nilai-nilai keagamaan, sosial, budaya dalam rangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan sosial.
  5. Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa
  6. Mendorong peningkatan keswadayaan dan gotong royong masyarakat desa.
  7. Meningkatakan pedapatan desa dan masyarakat desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Penggunaan Dana Desa yang diterima pemerintah desa 30% alokasi dana desa dipergunakan untuk operasional penyelenggaraan pemerintah desa dalam pembiayaan operasional desa, biaya operasional BPD, biaya operasional tim penyelenggara alokasi dana desa. 

Sedangkan  70%  dana desa  dipergunakan untuk pemberdayaan masyarakat  dalam  pembangunan sarana dan prasarana ekonomi desa, pemberdayaan dibidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat terutama untuk mengentaskan kemiskinan dan bantuan keuangan kepala lembaga masyarakat desa, BUMDes, kelompok usaha sesuai potensi ekonomi masyarakat desa, serta bantuan keuangan kepada lembaga yang ada di desa seperti LPMD, RT, RW, PKK, Karang Taruna, Linmas.

Prioritas Dana Desa

Dana Desa diprioritaskan untuk pembiayaan pelaksanaan program dan kegiatan berskala lokal desa dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup masyarakat serta penanggulangan kemiskinan. Prioritas Dana Desa dialokasikan untuk membiayai bidang pemberdayaan masyarakat didasarkan atas kondisi dan potensi desa, sejalan dengan pencapaian target RPJMDes dan RKPDes setiap tahunnya, melalui:

1.  Dana Desa diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan dasar meliputi:
  • Pengembangan pos kesehatan Desa dan Polindes;
  • Pengelolaan dan pembinaan Posyandu; dan
  • Pembinaan dan pengelolaan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
2.  Dana Desa diprioritaskan untuk pembangunan sarana dan prasarana desa, yang diantaranya dapat meliputi:
  • Pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana jalan desa;
  • Pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana jalan usaha tani;
  • Pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana embung desa;
  • Pembangunan energi baru dan terbarukan;
  • Pembangunan dan pemeliharaan sanitasi lingkungan;
  • Pembangunan dan pengelolaan air bersih berskala desa;
  • Pembangunan dan pemeliharaan irigasi tersier.
3. Dana Desa diprioritaskan untuk pengembangan potensi ekonomi lokal guna meningkatkan kapasitas masyarakat desa dalam pengembangan wirausaha, peningkatan pendapatan, serta perluasan skala ekonomi masyarakat desa.

Berdasarkan prinsip pengelolaan Dana Desa bagian yang tak terpisahkan dari pengelolaan keuangan Desa dalam APBD, seluruh kegiatan yang dibiayai Dana Desa direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi secara terbuka dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat desa, semua kegiatan harus dipertanggung jawabkan secara admistratif, secara, teknis, dan secara hukum. Dana Desa dipergunakan secara terarah, ekonomis, efesien, efektif, berkeadilan, dan terkendali. ***

Rincian Alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dalam APBN Tahun Anggaran 2022

10/18/2021 Add Comment

Rincian Alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dalam APBN Tahun Anggaran 2022

KeuanganDesa.info, JAKARTA -
Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2022 telah disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang melalui Rapat Paripurna DPR RI tanggal 30 September 2021. Salah satu bagian penting dari belanja negara tersebut adalah Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), yang jumlahnya mencapai Rp769,61 triliun, terdiri atas transfer ke daerah sebesar Rp701,61 triliun dan dana desa sebesar Rp68,00 triliun.

Adapun rincian alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dalam APBN Tahun Anggaran 2022 tersebut meliputi:

  1. Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp105,26 triliun terdiri dari DBH Pajak sebesar Rp53,86 triliun, DBH SDA sebesar Rp43,50 triliun, dan Kurang Bayar sebesar Rp7,90 triliun, anggaran Kurang Bayar DBH merupakan komitmen pemerintah untuk mempercepat penyelesaian Kurang Bayar DBH dengan memperhatikan kondisi keuangan negara.
  2. Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar Rp378,00 triliun atau 28,5% PDN Neto, dialokasikan berdasarkan Alokasi Dasar dan Celah Fiskal. Penyaluran DAU berdasarkan kinerja pelaporan dan mempertimbangkan kinerja pengelolaan APBD.
  3. Dana Alokasi Khusus Fisik (DAK Fisik) sebesar Rp60,87 triliun, yang mencakup 6 (enam) Bidang DAK Fisik Reguler dan 12 (dua belas) Bidang DAK Fisik Penugasan, termasuk penambahan 2 (dua) bidang baru, yakni: (i) Bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan (ii) Bidang Perdagangan.
  4. Dana Alokasi Khusus Nonfisik (DAK Nonfisik) sebesar Rp128,72 triliun, yang mencakup 16 (enam belas) jenis dana, dengan penambahan 1 dana baru, yakni Dana Penguatan Kapasitas Kelembagaan Sentra IKM (PK2SIKM).
  5. Dana Otsus, Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka Otsus dan Dana Keistimewaan DIY sebesar Rp21,76 triliun.
  6. Dana Insentif Daerah (DID) sebesar Rp7,00 triliun yang terdiri dari DID Kinerja tahun sebelumnya dan DID Kinerja tahun berjalan.
  7. Dana Desa sebesar Rp68,00 triliun, yang dialokasikan kepada 74.960 desa dan penggunaannya diarahkan untuk program perlindungan sosial berupa bantuan langsung tunai  Desa, dukungan program sektor prioritas di desa serta program atau kegiatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dana Alokasi Khusus Fisik adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK Fisik ditujukan sebagai pendukung (supporting) terhadap APBD dalam memenuhi kebutuhan peningkatan kuantitas dan kualitas sarana prasarana fisik layanan publik dan/atau mendukung pencapaian prioritas nasional.

Total alokasi TA 2022 sebesar 60.874 Miliar Rupiah. Jumlah ini mengalami penurunan sebesar 6,7% dari Alokasi DAK Fisik TA 2021 sebesar 65.248 Miliar Rupiah. DAK Fisik dialokasikan berdasarkan usulan daerah dan/atau usulan anggota DPR dengan memperhatikan prioritas nasional, kemampuan keuangan negara, kapasitas fiskal dan kinerja daerah, serta tata kelola keuangan yang baik. Proses penilaian untuk alokasi DAK Fisik dilakukan oleh Pemerintah (K/L Teknis, Bappenas dan Kemenkeu) berdasarkan kelayakan teknis, keterkaitan dengan prioritas nasional, kapasitas fiscal, dan kinerja DAK Fisik tahun sebelumnya.

DAK Fisik TA 2022 terdiri atas 2 (dua) jenis, yaitu DAK Reguler dan DAK Penugasan. DAK Fisik Reguler dengan total alokasi sebesar 47.421 Miliar Rupiah (77,9% dr total DAK Fisik) mempunyai tujuan untuk mendukung pemenuhan Standar Pelayanan Minimum, yang terdiri dari 6 (enam) bidang yaitu Bidang Pendidikan, Bidang Kesehatan dan KB, Bidang Jalan, Bidang Air Minum,  Bidang Sanitasi, dan Bidang Perumahan dan Permukiman. Adapun DAK fisik Penugasan bersifat lintas sektor dalam mendukung pencapaian sasaran major project dan prioritas nasional tertentu serta mendukung pemulihan ekonomi nasional. DAK Fisik penugasan dialokasikan sebesar 13.452 Miliar Rupiah (22,1% dari total DAK fisik), tidak diberikan kepada semua Daerah, namun hanya kepada daerah tertentu yang masuk dalam lokasi prioritas sesuai tematiknya. Tematik DAK Penugasan terdiri atas:

  • Tema Penguatan Destinasi Pariwisata Prioritas dan Sentra Industri Kecil dan Menengah, terdiri dari Bidang Pariwisata, Bidang Industri Kecil dan Menengah, Bidang Jalan, Bidang Lingkungan Hidup, Bidang Perdagangan, dan Bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
  • Tema pengembangan food estate dan penguatan kawasan sentra produksi pertanian, perikanan, dan hewani, yang terdiri dari Bidang Pertanian, Bidang Kelautan dan Perikanan, Bidang Irigasi, Bidang Kehutanan, Bidang Jalan, dan Bidang Perdagangan.
  • Tema peningkatan konektivitas kawasan untuk pembangunan inklusif di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, terdiri dari Bidang Transportasi Perdesaan, Transportasi Perairan, dan Bidang Jalan.

Semua proses pengalokasian TKDD setiap Provinsi/Kabupaten/Kota telah sesuai dengan kebijakan pengalokasian dan telah melalui tahapan sebagaimana ketentuan perundang-undangan. Oleh karena itu, apabila terdapat pihak/oknum yang mengatasnamakan DJPK yang menjanjikan sesuatu mengenai alokasi TKDD suatu daerah, kiranya dapat dipahami bersama bahwa itu tidak benar. Setiap pegawai DJPK telah berkomitmen untuk tidak menerima gratifikasi terkait pelaksanaan tugas dan fungsi DJPK. Kiranya ada pihak/oknum yang mengatasnamakan DJPK dapat dilaporkan kepada kami melalui Call Center DJPK 0811-150420-7.

Rincian alokasi TKDD TA 2022 per daerah dapat diunduh melalui tautan berikut:

***

14 Desa di Probolinggo Terapkan Pembayaran Nontunai

10/13/2021 Add Comment

14 Desa di Probolinggo Terapkan Pembayaran Nontunai
[ilustrasi] Warga menerima Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD) di Balai Desa Tanjungkarang, Jati, Kudus, Jawa Tengah, Senin (18/5/2020). - Antara/Yusuf Nugroho.
KeuanganDesa.info, PROBOLINGGO – Sebanyak 14 desa yang ada di Kecamatan Tongas Kabupaten Probolinggo akan segera menerapkan pembayaran dan penyaluran kegiatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) secara nontunai

"Pj Kepala Desa yang ada di Kecamatan Tongas sudah berkomitmen untuk segera menerapkan pembayaran dan penyaluran APBDesa secara non tunai. Ini merupakan inovasi dari Pj Kepala Desa se-Kecamatan Tongas untuk melaksanakan Perbup Nomor 37 Tahun 2021 lebih awal," kata Camat Tongas Abd Ghafur, Selasa (12/10/2021). 

Komitmen penggunaan transaksi nontunai terungkap dalam kegiatan persiapan penyaluran Dana Desa (DD) tahap 3 secara non tunai yang digelar Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Probolinggo di Gedung Serbaguna Desa Curah Dringu Kecamatan Tongas.

Hadir dalam kegiatan tersebut Asisten Pemerintahan dan Kesra Sekretaris Daerah Kabupaten Probolinggo Heri Sulistyanto, Kepala DPMD Kabupaten Probolinggo Edy Suryanto, perwakilan Inspektorat, Badan Keuangan Daerah dan Bagian Hukum, Camat Tongas Abd. Ghafur, Pj Kepala Desa dan Bendahara Desa di 14 desa se-Kecamatan Tongas, TA P3MD Kabupaten Probolinggo serta PD dan PLD se-Kecamatan Tongas.

Asisten Pemerintahan dan Kesra Sekretaris Daerah Kabupaten Probolinggo Heri Sulistyanto menyampaikan tentang pemberdayaan aparatur Pemerintah Desa, DPMD terkait teknis pelaksanaan kegiatan secara non tunai, Badan Keuangan Daerah terkait mekanisme penyerapan Dana Desa, Alokasi Dana Desa dan Bantuan Keuangan Desa serta Inspektorat terkait pencegahan penyalagunaan dalam pelaksanaan kegiatan. 

Kepala DPMD Kabupaten Probolinggo Edy Suryanto menyarankan untuk penyelesaian RPJMDesa untuk 72 desa yang baru dilantik. Sebab maksimal tiga bulan setelah dilantik wajib menyelesaikan RPJMDesa selama kurun waktu 6 tahun.

"Sesuai Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 37 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa, sudah waktunya melaksanakan belanja desa nontunai termasuk pemahaman aset desa yang diwajibkan masuk PADesa," ujarnya.

Edy menyampaikan ucapan terima kasih kepada 14 desa se-Kecamatan Tongas yang akan mengawali kegiatan penyaluran secara non tunai.

"Harapannnya kegiatan penyaluran secara non tunai ini juga akan dijadikan pilot project untuk 23 kecamatan lain dan desa-desa lain di Kabupaten Probolinggo," harapnya seperti dikutip dari publikasi Pemkab Probolinggo, Rabu (13/10/2021). 

Sementara Asisten Pemerintahan dan Kesra Sekretaris Daerah Kabupaten Probolinggo Heri Sulistyanto mengatakan perlu adanya perubahan dalam memimpin desa, karena nanti Plt Bupati Probolinggo akan memberikan pemahaman untuk semua Pj Kepala Desa untuk 252 desa selaku penyelenggara Pemerintah Desa, Pilkades akan tetap dilaksanakan bulan Februari 2022, termasuk menunggu persetujuan pemerintah pusat berkaitan dengan Perbub pelaksanaan Pilkades. 

"Pj Kepala Desa dan Pemerintah Desa diharapkan mulai gemar membaca dan memahami aturan-aturan yang terkait dengan desa," katanya. ***

Terapkan CMS, Kades Teluk Kapuas Merasa Mudah dan Cepat Selesaikan Laporan Keuangan Desa

10/13/2021 Add Comment

Terapkan CMS, Kades Teluk Kapuas Merasa Mudah dan Cepat Selesaikan Laporan Keuangan Desa
KeuanganDesa.info, PONTIANAK – Sejak diterapkannya pengelolaan Keuangan Desa melalui aplikasi Cash Management System (CMS) oleh semua (118) desa di Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat (Kalbar) sejak tahun 2020 lalu, mampu membentengi setiap kepala desa dalam penyalahgunaan pengelolaan keuangan desa.

Pasalnya, masing-masing kepala desa merasa dipermudah, terlindungi dan terbentengi oleh Pemerintah Kabupaten Kubu Raya melalui gagasan, ide dan inovasi Bupati Muda Mahendrawan dalam mengelola keuangan desa melalui sistem CMS. 

Kepala Teluk Kapuas Kecamatan Sungai Raya Abdul Halim Abdullah mengatakan, dengan diterapkannya CMS ini, dari total anggaran Rp.1,9 milyar untuk desanya itu sampai saat ini serapan anggaran dan pengelolaan keuangan di desanya sudah mencapai 85 persen, karena semua program di desanya sudah dilaksanakan sedangkan 15 persen lainnya hanya membayar gaji dan intensif RT dan perangkat desa.

"Saya menilai, dengan CMS desa ini semua urusan di pemerintahan desa kami itu sangat terbantu dengan semakin cepatnya serapan anggaran yang kami lakukan. Selain untuk program di desa, anggaran desa yang kami terima itu juga disisihkan 8 persen dari anggaran untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM), yang mana untuk di desa Teluk Kapuas terdapat 50 KPM dan 40 diantaranya diberikan secara non tunai melalui aplikasi CMS sedangkan 10 lainnya diberikan secara tunai, kata Abdul Halim Abdullah saat menjadi narasumber dalam Dialog Luar Studio RRI Pontianak bersama Kabid Keuangan dan Aset Desa DPMD Kubu Raya Rini Kurnia Solihat, Kasi Pemerintahan Kecamatan Sungai Raya Indo Machdori Sutiyo dan Kepala Desa Parit Baru Musa Abdul Hamid dengan tema Penerapan CMS Desa di aula Kantor Camat Sungai Raya, Selasa (12/10/2021) pagi.

Menurutnya, implementasi pengelolaan keuangan desa dengan sistem non tunai dengan aplikasi CMS ini telah memberikan kemudahan dan keamanan bagi Kepala Desa di kabupaten termuda di Kalbar itu.

"Saya merasa sangat terbantu dengan adanya aplikasi CMS dalam melaksanakan program transaksi non tunai, meski masih terdapat kendala dalam menerapkan sistem ini, namun dirinya mengaku dengan sistem ini akan merubah mindset masyarakat Desa", tuturnya.

Kepala Desa Teluk Kapuas dua priode itu menilai, dengan diterapkannya sistem ini, tentunya tidak ada lagi hal-hal yang ditutupi, karena pihak ketiga yang menjadi rekanan akan intensif dalam melakukan transparansi masalah keuangan.

"Namun yang paling penting dalam pengelolaan keuangan Desa ini adalah merubah mainset dan pola fikir masyarakat kita", paparnya.

Halim menyampaikan, dengan berubahnya pola fikir masyarakat dengan sistem pengelolaan desa yang baik, maka itulah dasar fundamental yang akan merubah kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan keuangan Desa.

"Saya ucapkan terima kasih kepada pak bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan yang telah mengeluarkan inovasi terkait program ini, karena semua itu akan memberikan kemudahan dan rasa aman dalam mengelola keuangan Desa", ucapnya.

Selain itu Halim menambahkan, dengan adanya aplikasi CMS ini maka transaksi bisa dilakukan dimana dan kapan saja. Karena dalam penggunaan aplikasi CMS ini ada beberapa point yang didapatnya dari apa yang disampaikan pihak Bank Kalbar Cabang Kubu Raya.

"Diantaranya, kemudahan dalam melakukan pentransferan kapada pihak ketiga, baik itu toko bangunan, toko makanan dan snack, toko Alat Tulis Kantor (ATK), bisa juga dilakukan transfer antar bank bahkan mentransfer ke banyak Bank pun bisa dilakukan. Tentunya dengan kemudahan ini akan membuat kami merasa lebih terlindungi dari penyalahgunaan anggaran, karena sisa anggaran Rp.1 yang ada di kas desa kami harus tetap dipertanggungjawabkan", tutup Halim.[]

Menelisik Titik Kritis Pengelolaan Keuangan Desa

10/13/2021 Add Comment
Titik-Kritis-Pengelolaan-Keuangan-Desa
Desa hari ini menempati strata yang teramat penting dalam proses pembangunan nasional. Desa tidak lagi menjadi objek, ia adalah subjek pembangunan kiwari. Desa hari ini diletakkan sebagai pusat (center). Desa diberi keleluasaan untuk merencanakan, menganggarkan, melaksanakan, melaporkan serta mempertanggungjawabkan sendiri pembangunannya. Ada kewenangan lebih kepada pemerintah desa untuk membangun sesuai kebutuhan lokal. Ditambah ada “kue” ekonomi lebih yang mengguyur desa melalui kucuran Dana Desa dari pemerintah pusat. Dus, membaca “konstelasi” desa hari ini harus utuh dari kacamata orde UU No. 06 tahun 2014.

Pasal 1 angka 8 UU No. 6 Tahun 2014 mendefinisikan pembangunan desa sebagai upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Pada Pasal 78 ayat 1 memberikan penegasan bahwa Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan (Abidin, 2015).

Salah satu aspek yang paling menyita perhatian adalah adanya Dana Desa. Dana Desa sebagaimana dijelaskan panjang lebar dalam PP No. 60 tahun 2014 jo. PP No. 22 tahun 2015 merupakan dana yang bersumber dari APBN yang khusus diperuntukkan untuk (pembangunan di) desa. Mekanisme Dana Desa ini menjadi salah satu pembeda ketika memaknai perubahan orientasi pembangunan yang menempatkan Desa sebagai poros pembangunan. Jumlahnya tidak main-main. Tahun 2015, ada Rp 20,6 Trilyun yang dikucurkan, sementara tahun 2016 ini dialokasikan 47 Trilyun untuk Dana Desa. Jika dirata-rata, setiap desa (tercatat lebih dari 74 ribu desa di Indonesia) akan mendapatkan kucuran sekitar Rp 700 juta per tahun dari Dana Desa ini tahun 2016. Jumlah ini akan meningkat seiring kekuatan APBN di tahun mendatang.

Tambahan luncuran Dana Desa ini menghadirkan paradigma baru dalam pengelolaan keuangan di desa. Tujuan mulia menjadikan desa lebih berdaya harus diikuti dengan tambahan tanggung jawab kepada segenap penyelenggara pemerintahan di desa dalam mengelola keuangannya. Pengelolaan keuangan desa tidak bisa dipandang sebagai sebuah proses yang tidak berisiko. Di dalam sebuah Warta Pengawasan BPKP (2015) disebutkan bahwa kita harus berpikir ulang untuk meremeh pengelolaan keuangan desa. Undang-Undang yang ada telah mengatur bahwa mekanisme pengelolaan keuangan desa saat ini mirip dengan mekanisme pengelolaan APBD Provinsi/ kabupaten/kota. Demikian juga termasuk dengan perihal manajemen aset. Pengelolaan APBD provinsi/kota/kabupaten yang didukung dengan SDM yang lebih baik dan berpengalaman saja masih sering terjadi penyimpangan. Pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan kondisi di desa?.

BPKP tahun 2015 telah mengelompokkan kemungkinan permasalahan atau risiko dalam pengelolaan keuangan desa diantaranya 1) Program dan Kegiatan pada RPJMDes, RKPDes, dan APBDes tidak sesuai aspirasi/kebutuhan masyarakat desa; 2) Kegagalan menyelenggarakan Siklus Pengelolaan Keuangan Desa yang sehat; 3) Kegagalan atau keterlambatan penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Desa, termasuk Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan APBDes; 4) Pengelolaan Aset Desa yang tidak efisien dan efektif (Warta Pengawasan, 2015). Sedangkan beberapa risiko kecurangan (fraud) yang dapat terjadi dalam pengelolan keuangan desa, antara lain : 1) Penggunaan Kas Desa secara tidak sah (Theft of Cash on Hand); 2) Mark up dan atau Kick Back pada Pengadaan Barang/Jasa; 3) Penggunaan Aset Desa untuk kepentingan pribadi Aparat Desa secara tidak Sah (misuse atau larceny) Aset desa, berupa sarana kantor, tanah desa, peralatan kantor ataupun kendaraan kantor; atau 4) Pungutan Liar (illegal Gratuities) Layanan Desa.

Profil kepala desa selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa sesuai dengan survei BPS tahun 2013 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan kepala desa yang berpendidikan SMA sebanyak 66,35 persen. Untuk tingkat pendidikan S- 1/S-2/S-3 sekitar 16,21 persen. Dengan kata lain, 82,56 persen kepala desa memiliki tingkat pendidikan minimal SMA (Abidin, 2015). UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menempatkan kepala desa dalam posisi sentral dalam kedudukannya yang dekat dengan masyarakat sekaligus pemimpin masyarakat. Sedangkan dalam pengelolaan keuangan, sebagaimana tersurat dalam Permendagri No. 37 Tahun 2007, kepala desa dibantu oleh sekretaris desa yang bertindak selaku koordinator pelaksanaan pengelolaan keuangan desa dan bertanggung jawab kepada kepala desa. Berkenaan dengan penyusunan laporan keuangan, survei BPS tahun 2013 menyebutkan bahwa penyusunan laporan keuangan desa dilakukan oleh sekretaris desa (41,65 persen), kepala urusan (30,48 persen) dan dilakukan sendiri oleh kepala desa atau 14,66 persen (Abidin, 2015).

Pemerintah Provinsi Jawa Timur menaruh perhatian penting guna menyiapkan pemangku kepentingan di desa siap mengelola pembangunan di desa, terlebih aspek pengelolaan keuangannya. Bekerjasama dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan BPKP Jawa Timur, tahun 2016 ini seluruh Sekretaris Desa (Sekdes) se Jawa Timur dikumpulkan mengikuti pendidikan dan pelatihan terkait Pengelolaan Keuangan Desa, mulai awal Februari lalu hingga bulan Oktober nanti (10 putaran) di Surabaya dan Malang. Kegiatan ini merupakan rangkaian program setelah tahun 2015 lalu juga melatih para Kepala Desa se-Jawa Timur untuk hal serupa. Penulis merupakan salah satu instruktur yang terpilih mendampingi para Sekdes ini memahami tugas pokok dan fungsinya dalam menjalankan amanat UU No. 6 tahun 2014 ini dalam beberapa putaran pelaksanaan. Berdasarkan Diklat yang berlangsung selama 5 hari (setiap putaran), ada beberapa catatan penting yang perlu menjadi perhatian penting seluruh pihak terkait. Pertama, persoalan perubahan paradigma penyelenggara pemerintahan desa (mind set shifting). Berdasarkan pengalaman berinteraksi dengan Kepala Desa dan Sekretaris Desa (termasuk dalam Diklat Pengelolaan Keuangan Desa ini), tambahan tanggung jawab (terutama aspek pengelolaan keuangan desa, wa bil khusus Dana Desa) masih dianggap “angin lalu” saja, khususnya dalam benak Kepala Desa. Masih tertancap kuat bahwa peran dan fungsi kepala desa masih seperti era sebelumnya. Ia adalah segalanya, semacam “raja kecil” yang bisa menentukan dan berbuat sesukanya. Tengara ini terkonfirmasi pada hasil riset yang dilakukan oleh Rohmah, Zuhdi dan Setiawan (2016). Berdasar penelusurannya dengan pendekatan kualitatif pada sebuah desa di Jawa Timur, mereka menyimpulkan bahwa atas pengelolaan keuangan Dana Desa di tahun pertama (2015), mindset bahwa kepala desa adalah “raja kecil” yang memegang kuasa sepenuhnya atas uang yang dikelola pemerintah desa tidak terbantahkan. Praktis, lagi-lagi berkaca pada riset Rohmah, Zuhdi dan Setiawan (2016) pengelolaan keuangan desa (termasuk Dana Desa di dalamnya) kurang melibatkan aktor lainnya di desa, seperti sekretaris desa, bendahara desa, pun juga anggota Badan Perwakilan Desa (BPD).

Dalam konstruksi Pasal 3 Permendagri No. 113 No. 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa memang disebutkan bahwa Kepala Desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa serta mewakili Pemerintah Desa dalam kepemilikan kekayaan milik desa yang dipisahkan. Namun, mengingat beratnya tanggung jawab, Kepala Desa tidak lagi dapat bertindak seenaknya. Pelaksana Teknis Pengelola Keuangan Desa (PTPKD) yang terdiri dari Sekdes, Kepala Seksi dan Bendahara merupakan struktur yang dibentuk aturan perundangan untuk membantu Kepala Desa. Sayangnya, di sebagian besar desa, fungsi ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Banyak Kepala Desa yang masih one man show. Segala aspek pengelolaan keuangan, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban tidak melibatkan seluruh fungsi yang dikehendaki aturan. Kas desa dipegang, dicatat dan dilaporkan sendiri oleh kepala desa menjadi berita jamak yang masih sering didengar. Akibatnya fungsi pengendalian internal tidak berjalan. Modus korupsi di tingkat desa, beberapa hal yang memotivasi Kepala Desa melakukan korupsi (Rahman, 2011) diantaranya pertama, kepala desa sering terkondisikan menjadi ujung tombak segala urusan di desa mulai dari bayi lahir hingga warganya yang meninggal, bahkan setiap acara yang dihelat warga maka kepala desa menurut “kebiasaan” harus memberikan sumbangan. Kedua,kepala desa terpilih berdasarkan sisi elektabilitas bagus namun sisi modalitas ekonomi sangat lemah sehingga terdorong untuk melakukan tindak pidana korupsi. Ketiga, posisi kepala desa menjadi pundi-pundi partai politik di akar rumput. Di tingkat desa pun partai politik menancapkan akar politiknya dengan menempatkan kadernya sebagai kepala desa. Keempat, kurangnya pengawasan dan keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Hal ini karena masyarakat desa biasanya lebih perhatian dan memilih melakukan aktivitas keseharian mereka seperti bertani, berdagang, dan melaut urusan pemerintahan, penganggaran dianggap merupakan pekerjaan orang-orang pintar, atau tokoh desa saja.

Perlu adanya “kampanye” terus menerus kepada seluruh pihak terkait yang ada di desa untuk memahami dan menjalankan fungsinya masing-masing. Bendahara Desa memegang dan melaporkan keuangan, Sekretaris Desa menjalankan fungsi kesekretariatan dan otorisasi pelaporan, kepala seksi dan segenap aparatur desa menjalankan kegiatan pembangunan dan kepala desa bertanggung jawab sepenuhnya seluruh proses. Pada proses ini, BPD (Badan Permusyawaratan Desa) yang menjalankan fungsi legislatif di desa juga penting untuk menggunakan taringnya menciptakan check and balances fungsi eksekutif Kepala Desa. SKPD terkait di daerah, mulai BPMP, Bagian Pemerintah Desa Setda, DPPKAD serta Inspektorat perlu terus bersinergi mengawal perubahan paradigma pengelolaan desa ini pada semua pemangku kepentingan di desa.

Catatan kedua yang menyeruak adalah masih lemahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki oleh perangkat Desa. Pelaksanaan pembangunan di desa dengan anggaran yang semakin besar mempersyaratkan kecakapan kompetensi SDM yang memadai. Berdasarkan pengakuan para sekdes, aparatur desa yang mumpuni untuk diajak “berlari” mengikuti perubahan aturan masih minim sekali. Tak jarang, Sekdes (apalagi yang sudah PNS dan berijazah sarjana) harus menjalankan beberapa peran sekaligus, mulai kecakapan ilmu hukum (menyiapkan Raperdes, Raperkades), ilmu teknik sipil (menyiapkan Rincian Anggaran Biaya kegiatan), ilmu pemerintahan (administrasi dan surat menyurat birokrasi) hingga akuntansi (pencatatan dan pelaporan keuangan). Permendesa PDTT No. 3 tahun 2015 tentang Pendampingan Desa, sebenarnya memberikan ruang adanya fungsi asistensi, pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi desa oleh tenaga pendamping profesional. Namun, keberadaan tenaga pendamping ini, sebagaimana diungkapkan oleh para Sekdes, masih belum optimal perannya sesuai yang diharapkan.

Peningkatan kapasitas SDM ini vital pula artinya untuk akselerasi pembangunan di desa. Desa. Dalam jangka panjang, desa diharapkan lebih mampu mandiri dalam kapasitas keuangannya. Ikhtiar optimalisasi potensi desa untuk menambah Pendapatan Asli Desa (PADesa) diharapkan muncul dari kreativitas pengelola pemerintahan desa. Salah satu yang didorong keras adalah pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Kementerian Desa PDTT bahkan sampai merilis Permendesa PDTT No.4 tahun 2015 tentang BUMDes ini untuk menekankan pentingnya BUMDes ini dibentuk dan dioptimalkan keberadaannya. Dalam konteks pemerintah kabupaten/kota, terlihat ada kesadaran juga pada pentingnya BUMDes ini diinisiasi. Program 99 hari kerja Bupati Sumenep terpilih 2016-2021, KH. Abuya Busyro Karim dan Achmad Fauzi misalnya, diantaranya juga menyebutkan tentang pembentukan BUMDes dalam rangka Desa Mandiri sebagai salah satu prioritasnya.

Catatan ketiga berkenaan dengan persoalan aset. Desa diamanahi oleh pasal 116 UU No. 6 tahun 2014 untuk melakukan inventarisasi aset. Jangka waktu yang diberikan adalah 2 (dua) tahun sejak diundangkan. Tujuan inventarisasi aset desa baik yang diperoleh melalui dana desa ataupun hibah bertujuan agar tidak mengakibatkan konflik kepemilikan di kemudian hari. Inventarisasi ini sekaligus berfungsi untuk menjadi alat pencegahan dari segala kemungkinan adanya gugatan dari ahli waris atas hibah aset di kemudian hari kepada Desa.

Permasalahan agraria berkenaan dengan status kepemilikan aset berupa tanah desa sangat bervariasi kasus-kasusnya sehingga mendesak perlu ada koordinasi dan harmonisasi penyelesaian diantara Pemerintah Desa, Pemda, dan BPN agar aturannya jelas dan terselesaikan serta memudahkan desa melakukan pendataan dan pencatatan inventarisasi aset milik desa dengan lengkap dan sah dengan penilaian sesuai dengan aturan yang ada.

Pelbagai permasalahan yang masih menyeruak seputar pengelolaan keuangan desa di atas merupakan pekerjaan rumah bersama yang mesti dicarikan jalan keluar. Beberapa titik kritis di atas seyogyanya menjadi pekerjaan rumah bersama yang perlu dirumuskan solusinya pada tahapan awal implementasi otonomi desa dalam aspek pengelolaan keuangan ini. Penting dicatat, apa yang coba dituliskan ini masih di berkisar pada aspek pengelolaan keuangan, salah satu bagian saja dari semangat paradigma baru pembangunan di desa. Aspek pelibatan masyarakat desa seutuhnya dalam proses pembangunan adalah tahapan berikutnya yang harus digarap. Kepentingan dan kebutuhan setiap desa adalah sangat khas. Variasinya begitu beragam antar desa. Masyarakat penghuni desa itulah yang mengerti dan memahami prioritas kebutuhannya. Ketika seluruh unsur masyarakat berada pada frekuensi yang sama dalam memaknai paradigma baru pembangunan desa, maka seluruh sistem pengelolaan akan seturut nafas dan nawaitu mulia yang melatari lahirnya UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa.

Pemberdayaan masyarakat harus terus digelorakan. Pengejawantahan persoalan tiap desa ke dalam prioritas perencanaan dan penganggaran pembangunan memerlukan sinergisitas setiap unsur masyarakat di desa, termasuk aspek pengawasan pelaksanaannya. Optimisme harus terus dibangun. Waktu masih panjang untuk merealisasikannya. Segenap persoalan yang masih mengungkung tidak boleh menjadi alasan mundur ke belakang. Seluruh pihak, termasuk media, penting menempatkan isu tentang pengeloloaan (keuangan) desa ini sebagai topik penting. Muara akhirnya jelas: Desa harus lebih berdaya, sejahtera dan maju secara berkelanjutan. Pelimpahan wewenang dan penambahan tanggung jawab yang dikelola desa perlu diarahkan bagi pencapaian tujuan-tujuan mulia tersebut, alih-alih hanya menjadi bancakan para pengelolanya. Semoga.

Daftar Pustaka

Abidin, MZ (2015). Tinjauan Atas Pelaksanaan Keuangan Desa Dalam Mendukung Kebijakan Dana Desa (Study of Implementation of Village Finance to Support Fund Village Policy). Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 6 No. 1, Juni 2015 hal 61 – 76.

Rahman, Fathur. (2011). Korupsi di tingkat desa. Jurnal Governance, 2(1), 13-24.

Rohmah, N.F, R. Zuhdi dan A.R. Setiawan (2016). Pengelolaan Dana Desa di Tahun Pertama: Kentalnya Mindset Kepala Desa Sebagai Si “Raja Kecil”. Prosiding Simposium Nasional Akuntansi XIX. Lampung.

_______ (2015).Risiko Pengelolaan Keuangan Desa dan Peran APIP. Warta Pengawasan Vol XXII/Edisi HUT ke 70 RI.

--- 
Sumber : Achdiar Redy Setiawan
https://www.iaijawatimur.or.id/course/interest/detail/16

Menelusuri Titik Kritis Pengelolaan (Keuangan) Desa 

Achdiar Redy Setiawan


Akuntabilitas Pengelolaan Dana Desa Pada Masa Pandemi Covid-19

4/19/2021 Add Comment

Akuntabilitas Pengelolaan Dana Desa Pada Masa Pandemi Covid-19
Akuntabilitas Pengelolaan Dana Desa Pada Masa Pandemi Covid-19

Dampak pandemi Covid-19 tidak hanya terjadi di perkotaan saja namun juga merambah ke desa. Untuk itu, di tingkat desa telah diatur bahwa Dana Desa dapat digunakan untuk penanggulangan Covid-19 dan dampaknya, yaitu: 

  1. bantuan langsung tunai (BLT Desa) kepada penduduk miskin, 
  2. penanganan dan pencegahan Covid-19 melalui pembentukan Satgas/Tim Relawan Desa Lawan Covid-19, 
  3. Program Padat Karya Tunai Desa (PKT Desa) untuk pemberdayaan masyarakat desa yang sifatnya produktif dengan pemanfaatan sumber daya, teknologi dan tenaga kerja lokal. PKT Desa ini sebagai upaya untuk memberikan tambahan pendapatan masyarakat, peningkatan daya beli, dan pengurangan kemiskinan, serta penurunan angka stunting. Skema PKT Desa dapat menyerap dalam jumlah yang besar para tenaga kerja di desa.

Perubahan pola pengelolaan dana desa pada masa pandemi Covid-19 memunculkan kerentanan dalam pengelolaan sumber daya publik, khususnya anggaran, karena potensi penyimpangan yang relatif tinggi. Berbagai kasus korupsi telah diungkap oleh penegak hukum maupun dilaporkan oleh masyarakat korban yang tidak mendapatkan hak atau bantuan mereka sebagaimana mestinya. Selain masalah kerentanan atas potensi korupsi anggaran penanganan bencana, masalah umum yang sering dihadapi adalah manajemen informasi publik yang kurang memadai sehingga dalam situasi darurat kebencanaan, kepercayaan Pemerintah justru menghadapi tantangan serius.

Dana desa yang digunakan dalam program penanganan dan pencegahan Covid-19 adalah dengan mewajibkan setiap desa untuk membentuk Satuan Tugas/ Tim Relawan Desa Lawan Covid-19. Dengan pembentukan Satgas ini akan memunculkan biaya belanja barang dan jasa yang diantaranya adalah belanja peralatan penyempropatan, bahan penyemprotan serta biaya jasa sewa kendaraan untuk mobilisasi pada saat kegiatan penyemprotan, operasional tim relawan desa, dimana seluruh kegiatan dari tim ini dibiayai sepenuhnya oleh dana desa.

Bentuk kegiatan tim relawan desa lawan Covid-19 untuk pencegahan yaitu dengan melakukan kegiatan penyemprotan desinfektan di tempat umum seperti sekolah, masjid, serta perkantoran yang ada di desa, kegiatan penyemprotan ini dikerjakan oleh tim relawan desa di masing-masing desa tersebut rutin tiap minggunya. Selain itu tim relawan desa juga mendirikan posko relawan di pintu masuk utama masing-masing desa yang dilengkapi dengan wadah penempungan air untuk mencuci tangan dan sabun, hal ini dilakukan sesuai dengan protokol kesehatan agar setiap orang yang masuk ke desa bisa mencuci tangan terlebih dahulu di posko relawan, kemudian mengisi buku tamu sebagai bagian dari administrasi.

Program Padat Karya Tunai Desa (PKT Desa) adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat desa, yang sifatnya produktif bagi masyarakat desa yang miskin dan termarginal dengan strategi pemanfaatan sumber daya, teknologi dan tenaga kerja lokal dalam upaya untuk memberikan tambahan pendapatan masyarakat, peningkatan daya beli, dan pengurangan kemiskinan, serta penurunan angka stunting. Skema PKT Desa diupayakan dapat menyerap dalam jumlah yang besar para tenaga kerja di desa. Kegiatan yang bisa digunakan untuk PKT Desa yaitu dibidang pembangunan desa, salah satu contoh kegiatannya pembangunan rabat beton jalan lingkungan di masing-masing desa.

Dana Desa untuk Bantuan Langsung Tunai Desa (BLT Desa) dilakukan untuk meminimalisir besaran dampak akibat pandemi Covid-19 yang dirasakan masyarakat, secara khusus bagi masyarakat miskin. Kriteria penyaluran BLT Desa berdasarkan Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 6 Tahun 2020 yaitu, Pertama, bagi desa yang mendapat kucuran dana desa dengan jumlah Rp800 juta, BLT Desa dialokasikan paling besar 25% dari total dana desa yang diterima.

Kedua, bagi desa yang mendapat kucuran dana desa dengan jumlah Rp 800 juta sampai dengan Rp1,2 miliar, BLT Desa dialokasikan paling besar 30%. Ketiga, bagi desa yang mendapat kucuran dana desa lebih besar dari Rp1,2 miliar, BLT Desa dialokasikan maksimal sebesar 35%. Khusus bagi desa dengan jumlah anggaran yang diterima lebih kecil dibandingkan dengan jumlah keluarga miskin yang ada, dapat melakukan pengajuan penambahan dana setelah memdapat persetujuan Pemerintah Kabupaten/Kota.

5 Rekomendasi Akuntabilitas Pengelolaan Dana Desa Pada Masa Pandemi Covid-19

Menggunakan anggaran kegiatan belanja tak terduga pada bidang penanggulangan bencana, keadaan darurat dan mendesak desa yang difokuskan untuk kegiatan penanganan Covid-19, perlu memperhatikan beberapa hal terkait akuntabilitas pengelolaannya diantaranya:

  1. Perlu dibuat satu kebijakan yang utuh dalam bentuk Peraturan Perintah, Perpres dan instrumen hukum lainnya yang menjadi payung pengelolaan sumber daya publik yang telah, sedang dan akan dimanfaatkan dalam rangka menjamin transparansi dan akuntabilitas tata kelola kelembagaan yang difungsikan secara khusus untuk menangani pandemi Covid-19. Desain tata kelola kelembagaan yang dimaksud mencakup berbagai aspek yang dibutuhkan dalam penanganan pandemi Covid-19, yang meliputi jalur koordinasi dan komunikasi, transparansi dan akuntabilitas dan kebijakan teknis di lapangan.
  2. Perlu dibuatnya mendesain kebijakan penanganan pandemi Covid-19 berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa serta mekanisme distribusi sarana medis yang esensial, tepat, cepat dan kredibel untuk menutup berbagai celah dan potensi penyimpangan dalam pengadaan dan distribusi sarana medis.
  3. Pemerintah segera membuat kebijakan dengan meminta pertimbangan lembaga lain seperti KPK, BPK, BPKP, dan LKPP terkait seleksi pembelian barang sesuai dengan skala prioritas untuk menanggulangi potensi barang tidak digunakan.
  4. Perlu menjaga akuntabilitas pelaksanaan program percepatan penangulangan pandemi Covid-19 yang dilakukan oleh Aparatur Desa melalui proses pendampingan sehingga mulai dari proses rekapitulasi sampai pada pelaporan kegiatan dapat dilakukan dengan tepat.
  5. Perlu memfasilitasi percepatan perubahan RKP Desa dalam rangka penyusunan perubahan kegiatan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa dengan melibatkan pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa, unsur masyarakat desa. Perubahan kegiatan difokuskan pada pemenuhan kebutuhan sosial dasar masyarakat yang terkena dampak pandemi Covid-19.

***

Penulis:
Dr. Fitria Husnatarina, S.E., M.Si., Ak., CA., CSRS., CSRA., ACPA
Ketua IAI Wilayah Kalimantan Tengah Periode 2016-2020/Dosen Jurusan Akuntansi FEB Universitas Palangkaraya


Dikutip dari Buku Berjudul:
IAI Peduli Covid-19: Percepatan Penanganan Covid-19 dari Perspektif Akuntan
Kontribusi Pemikiran Akuntan Indonesia
Refleksi 63 Tahun IAI (1957-2020)

Pj. Bupati Bandung: Dana Desa Akan Segera Cair

4/16/2021 Add Comment

Pj. Bupati Bandung Dedi Taufik saat kunjungan kerja ke Kejari Kabupaten Bandung di Kec Baleendah, Kamis (15/4/2021). (FOTO: Humas Pemkab Bandung)
Pj. Bupati Bandung Dedi Taufik saat kunjungan kerja ke Kejari Kabupaten Bandung di Kec Baleendah, Kamis (15/4/2021). (FOTO: Humas Pemkab Bandung)

KeuanganDesa.info, BANDUNG –
Pencairan Dana Desa di Kabupaten Bandung terkendala karena Kabupaten Bandung belum memiliki kepala daerah definitif pasca berakhirnya masa jabatan Bupati Dadang Naser. Terhambatnya pencairan Dana Desa tersebut dikeluhkan para kepala desa di Kabupaten Bandung.

Mekanisme Pencairan Dana Desa

Mekanisme pencairan Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), diantaranya diatur melalui Peraturan Menteri Keungan (PM) Nomor 222/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Dana Desa, selain itu Nomor 17/PMK.07/2021 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa Tahun Anggaran 2021 dalam rangka Mendukung Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Dampaknya. 

Mekanisme pencairan Dana Desa tersebut mengatur di mana proses transfer dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Desa (RKD) melalui Rekening Kas Umum Daerah (RKUD), memerlukan Surat Kuasa Pemindahbukuan yang ditandatangani kepala daerah.

"Surat kuasa ini harus ditandatangani minimal oleh penjabat bupati, tidak bisa oleh pelaksana harian bupati atau penjabat sekda. Saya sudah tandatangani surat kuasanya, nanti itu diserahkan ke KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara) Bandung II. Mudah-mudahan DD segera bisa dicairkan," terang Penjabat (Pj.) Bupati Bandung Dedi Taufik di sela kunjungan kerjanya ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Bandung di Kecamatan Baleendah, Kamis (15/4/2021).

Penyerahan surat kuasa ke KPPN dilakukan secara online (daring). Soft copy surat diunggah melalui aplikasi Online Monitoring Sistem Perbendaharaan Administrasi Negara (OMSPAN) oleh Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD). Selain surat kuasa, Dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) juga harus diunggah melalui sistem tersebut.

Hard copy dan soft copy APBDes dikirim pemerintah desa ke DPMD (Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa). Kemudian diserahkan ke BKAD disertai surat rekomendasi dari DPMD.

"Jadi selain surat kuasa, BKAD juga akan menggungah soft copy APBDes dan surat rekomendasi ini melalui aplikasi OM SPAN. Setelah diverifikasi KPPN, desa mana yang siap cair nanti dibuatkan surat pengantar dari BKAD, setelah itu baru masuk rekening desa," terang Dedi Taufik didampingi Kepala BKAD Kabupaten Bandung Diar Irwana.

Pengelolaan Dana Desa

Terkait pengelolaan Dana Desa, Dedi menambahkan, sinergitas juga telah dilakukan bersama Kejari melalui program Jaga Desa. Program tersebut merupakan bentuk pembinaan pengelolaan Dana Desa di tingkat desa.

"Jadi dalam program Jaga Desa ini ada counseling partner. Ini bagus, saya belum lihat di kabupaten lain. Tinggal mengakselerasi desa-desanya, untuk bagaimana pengelolaan Dana Desa nantinya bisa berhasil guna, dan manfaatnya betul-betul dirasakan oleh masyarakat," pungkas Pj. Bupati Bandung. ***

SISKEUDES POKOK-POKOK PERUBAHAN SISTEM KEUANGAN DESA

3/19/2021 Add Comment

Berikut ini video Perubahan Sistem Keuangan Desa pada Aplikasi Siskeudes V2.0 sesuai Permendagri 20/2018. POKOK-POKOK PERUBAHAN SISTEM KEUANGAN DESA pada SISKEUDES V2.0 SESUAI PERMENDAGRI NOMOR 20 TAHUN 2018.


Silakan Klik pada Hyperlinks TimeStamp untuk lompat sesuai sub judul materi di bawah ini: 00 Intro Judul 0:00 01 Gambaran Umum 0:19 02 Subjek Pengelola Keuangan Desa 0:28 03 Struktur APB Desa 0:37 04 Perbandingan Dokumen-Dokumen 0:46 05 PELAPORAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN 0:56 06 FORMAT CaLK 1:05 07 LAIN-LAIN 1:14 08 Surat Edaran Mendagri Tindak Lanjut Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 1:24 09 IMPLEMENTASI APLIKASI SISKEUDES (Versi PMD 113/2014) Per 30 November 2018 1:34 10 SERAH TERIMA SOURCE CODE BPKP KEPADA KEMENDAGRI 1:43 11 SK MENDAGRI: TIM BERSAMA SISKEUDES BPKP - KEMENDAGRI 1:52 12 RAPAT BERSAMA TIM PENGEMBANGAN APLIKASI SISKEUDES 2:02 13 PERUBAHAN TAMPILAN APLIKASI SISKEUDES 2:11 14 KEMENDAGRI – BPKP: LAUNCHING APLIKASI SISKEUDES 2.0 (Jakarta, 21 November 2018) 2:22 15 SISKEUDES VERSI 2.0 SESUAI PERMENDAGRI 20/2018 2:30 16 PENYESUAIAN APLIKASI SISKEUDES 2:39 17 LANGKAH-LANGKAH YANG HARUS DISIAPKAN 2:49 18 TANTANGAN SISKEUDES KE DEPAN 2:58 19 SISKEUDES 2.0 SESUAI PERMENDAGRI NOMOR 20 TAHUN 2018 3:07 20 KODE DESA IMPOR DARI STANDAR KODE OTOMATIS 3:13 21 PENYESUAIAN KODE WILAYAH/KODE DESA 3:21 22 PENYESUAIAN REFERENSI BIDANG SUB BIDANG DAN KEGIATAN 3:32 23 PENYESUAIAN PENGELOLA KEUANGAN DESA 3:41 24 PENYESUAIAN PENDAPATAN DESA 3:51 25 PENYESUAIAN BELANJA DESA 4:00 26 FITUR BARU SISKEUDES V2.0 4:10 27 PERUBAHAN FITUR SISKEUDES V2.0 4:46 28 KELENGKAPAN IMPLEMENTASI SISKEUDES V2.0 5:05



Daftar Istilah terkait Standar Akuntansi Keuangan

2/16/2021 Add Comment

 


Berikut ini Daftar Istilah terkait Standar Akuntansi Keuangan :

  1. Aktivitas investasi: Perolehan dan pelepasan aset jangka panjang, serta investasi lain yang tidak termasuk setara kas.
  2. Aktivitas operasi: Aktivitas penghasil pendapatan utama dari entitas dan aktivitas lain yang bukan merupakan aktivitas investasi atau pendanaan.
  3. Aktivitas pendanaan: Aktivitas yang menimbulkan perubahan dalam ukuran dan komposisi setoran ekuitas dan pinjaman entitas.
  4. Akuntabilitas publik yang signifikan: Akuntabilitas terhadap pihak kini atau potensial yang menyediakan sumber daya dan pihak eksternal lain yang membuat keputusan ekonomi, tetapi tidak dalam posisi meminta laporan secara khusus untuk memenuhi kebutuhan informasi tertentu mereka. Entitas mempunyai pertanggungjawaban terhadap publik apabila: (a) entitas telah mengajukan pernyataan pendaftaran, atau dalam proses pengajuan pernyataan pendaftaran, pada regulator pasar modal atau regulator lainnya untuk tujuan penerbitan efek di pasar modal; atau (b) entitas menguasai aset dalam kapasitas sebagai fidusia untuk sekelompok besar masyarakat, seperti bank, perusahaan asuransi, pialang/pedagang efek, dana pensiun, reksa dana atau bank investasi.
  5. Amortisasi: Alokasi sistematik dari jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aset selama umur manfaatnya.
  6. Arus kas: Arus masuk dan keluar kas atau setara kas.
  7. Aset: Sumber daya yang dikuasai oleh entitas sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi di masa depan diharapkan akan diperoleh entitas.
  8. Aset kontinjensi: Aset potensial yang timbul dari peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadi atau tidak terjadinya satu peristiwa atau lebih pada masa depan yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali entitas.
  9. Aset program (dari program imbalan kerja): (a) aset yang dimiliki oleh dana imbalan kerja jangka panjang; dan (b) polis asuransi yang memenuhi syarat.
  10. Aset tetap: Aset berwujud yang: (a) dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau menyediakan barang atau jasa, untuk disewakan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan (b) diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode.
  11. Aset tidak berwujud: Aset nonmoneter yang dapat diidentifikasikan dan tanpa mempunyai substansi fisik. Aset tersebut dapat diidentifikasikan ketika aset: (a) dapat dipisahkan, yaitu dapat dipisahkan atau dipecah dari entitas, dijual, dialihkan, dilisensikan, disewakan, atau ditukar, baik secara individual atau bersama dengan kontrak, aset, atau kewajiban yang terkait; atau (b) terjadi dari hak kontraktual atau hak hukum lain, tanpa memperhatikan apakah hak tersebut dapat dialihkan atau dapat dipisahkan dari entitas atau dari hak atau kewajiban lain.
  12. Beban: Beban (expenses) adalah penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar, berkurangnya aset, atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal.
  13. Beban pajak (pajak penghasilan): Jumlah agregat yang termasuk dalam penentuan laba atau rugi untuk periode pajak kini.
  14. Biaya pinjaman: Bunga dan biaya lainnya yang harus ditanggung oleh suatu entitas sehubungan dengan peminjaman dana.
  15. Catatan atas laporan keuangan: Catatan atas laporan keuangan berisi informasi tambahan terhadap pos-pos yang disajikan dalam neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, dan laporan arus kas. Catatan atas laporan keuangan memberikan uraian naratif atau pemisahan pos-pos yang diungkapkan dalam laporan keuangan, serta informasi tentang pos-pos yang tidak memenuhi persyaratan pengakuan dalam laporan keuangan tersebut.
  16. Cuti berimbalan yang boleh diakumulasi: Cuti berimbalan yang dapat dialihkan ke depan dan digunakan pada periode mendatang jika hak cuti periode berjalan tidak digunakan seluruhnya.
  17. Dapat dipahami: Kualitas informasi dalam suatu cara yang membuatnya dapat dipahami oleh pemakai yang memiliki pengetahuan yang memadai tentang aktivitas ekonomi dan bisnis, akuntansi serta kemauan untuk mempelajari informasi dengan ketekunan yang wajar.
  18. Dasar akrual: Pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui ketika terjadi (dan bukan pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayarkan), serta dicatat dalam catatan akuntansi dan dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode yang terkait.
  19. Efek: surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek.
  20. Efek ekuitas: Efek yang menunjukkan hak kepemilikan atas suatu ekuitas, atau hak untuk memperoleh (misalnya: waran, opsi beli) atau hak untuk menjual (misalnya opsi jual) kepemilikan tersebut dengan harga yang telah atau akan ditetapkan.
  21. Efek utang: Efek yang menunjukkan hubungan hutang piutang antara kreditor dengan entitas yang menerbitkan efek.
  22. Ekuitas: Hak residual atas aset entitas setelah dikurangi semua kewajibannya.
  23. Entitas anak: Suatu entitas, termasuk suatu entitas nonkorporasi seperti persekutuan, yang dikendalikan oleh entitas lain (dikenal sebagai entitas induk).
  24. Entitas asosiasi: Suatu entitas, termasuk entitas non-korporasi seperti persekutuan, dimana investor mempunyai pengaruh signifikan dan bukan merupakan entitas anak maupun joint venture.
  25. Entitas induk: Entitas yang mempunyai satu atau lebih entitas anak.
  26. Entitas tanpa akuntabilitas publik: Entitas tanpa akuntabilitas publik adalah entitas yang: (a) tidak memiliki akuntabilitas publik signifikan; dan (b) menerbitkan laporan keuangan untuk tujuan umum (general purpose financial statement) bagi pengguna eksternal.
  27. Imbalan kerja: Seluruh bentuk imbalan yang diberikan entitas atas jasa yang diberikan oleh pekerja.
  28. Imbalan pasca kerja: Imbalan kerja (selain pesangon PKK dan imbalan berbasis ekuitas) yang terutang setelah pekerja menyelesaikan masa kerjanya.
  29. Imbalan yang telah menjadi hak: Hak imbalan atas suatu program manfaat pensiun, yang tidak bergantung pada aktif atau tidaknya pekerja pada masa depan.
  30. Joint ventures: Suatu perjanjian kontraktual antara dua pihak atau lebih untuk melaksanakan aktivitas ekonomi yang dikendalikan bersama. Joint ventures dapat dilakukan dalam berbagai bentuk pengendalian bersama operasi, aset, atau entitas.
  31. Jumlah tercatat: Jumlah dimana suatu aset atau kewajiban diakui dalam neraca.
  32. Jumlah yang dapat disusutkan: Biaya perolehan suatu aset, atau jumlah lain yang menjadi pengganti biaya perolehan, dikurangi nilai residunya.
  33. Kas: Kas (cash on hand) dan rekening giro.
  34. Keandalan: Kualitas informasi yang membuatnya bebas dari kesalahan material dan pengertian yang menyesatkan, serta menyajikan secara jujur dari yang seharusnya disajikan atau secara wajar diharapkan dapat disajikan.
  35. Kebijakan akuntansi: Prinsip, dasar, konvensi, aturan, dan praktik tertentu yang digunakan oleh entitas dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan.
  36. Kehati-hatian: Memasukkan suatu tingkat peringatan dalam melaksanakan petimbangan yang dibutuhkan untuk membuat estimasi yang disyaratkan dalam kondisi ketidakpastian, semacam aset atau pendapatan yang tidak lebih saji dan beban atau kewajiban yang tidak kurang saji.
  37. Kelangsungan usaha: Suatu entitas memenuhi asumsi kelangsungan usaha kecuali manajemen bermaksud melikuidasi atau menutup usaha perdagangan, atau tidak memiliki alternatif yang realistik kecuali melakukan hal tersebut.
  38. Kelompok aset: Sekelompok aset yang memiliki sifat dan pemakaian yang serupa dalam operasi entitas.
  39. Kemungkinan (probable): Kemungkinan terjadi daripada tidak.
  40. Kemungkinan besar (highly probable): Secara signifikan lebih besar terjadi daripada mungkin (probable).
  41. Kerugian penurunan Nilai: Jumlah nilai tercatat suatu aset yang melebihi (a) harga jual dikurang biaya untuk menyelesaikan dan menjual, dalam hal persediaan, atau (b) nilai wajar dikurang biaya untuk menjual, dalam hal aset non-keuangan lainnya.
  42. Kesalahan: Kelalaian dalam mencantumkan dari, dan kesalahan dalam mencatat pada, laporan keuangan untuk satu atau lebih periode lalu yang timbul dari kegagalan penggunaan, atau kesalahan penggunaan dari, informasi yang dapat diandalkan yang: (a) tersedia ketika laporan keuangan untuk periode tersebut diselesaikan; dan (b) dapat diekspektasikan secara wajar untuk diperoleh dan dimasukkan dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan.
  43. Keuntungan: Kenaikan manfaat ekonomi yang memenuhi definisi penghasilan tetapi bukan pendapatan.
  44. Kewajiban: Kewajiban (obligation) kini entitas yang timbul dari peristiwa lalu, penyelesaiannya diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber daya entitas yang mengandung manfaat ekonomi.
  45. Kewajiban diestimasi: Kewajiban yang waktu atau jumlahnya belum pasti.
  46. Kewajiban imbalan pasti: Nilai kini dari kewajiban imbalan pasti pada tanggal pelaporan dikurang nilai wajar aset program pada tanggal pelaporan (jika ada) yang akan digunakan untuk menyelesaikan kewajiban secara langsung.
  47. Kewajiban konstruktif: Kewajiban yang timbul dari tindakan entitas yang dalam hal ini: adalah kewajiban yang timbul dari tindakan perusahaan yang dalam hal ini: (a) berdasarkan praktik baku masa lalu, kebijakan yang telah dipublikasi atau pernyataan baru yang cukup spesifik, entitas telah memberikan indikasi kepada pihak lain bahwa entitas akan menerima tanggung jawab tertentu; dan (b) akibatnya, perusahaan telah menimbulkan ekspektasi kuat dan sah kepada pihak lain bahwa entitas akan melaksanakan tanggung jawab tersebut.
  48. Kewajiban kontinjensi: (a) Kewajiban potensial yang timbul dari peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadi atau tidak terjadinya satu peristiwa atau lebih pada masa depan yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali entitas; atau (b) Kewajiban kini yang timbul sebagai akibat peristiwa masa lalu, tetapi tidak diakui karena: (i) tidak terdapat kemungkinan besar (not probable) entitas mengeluarkan sumber daya yang mengandung manfaat ekonomis untuk menyelesaikan kewajibannya; atau (ii) jumlah kewajiban tersebut tidak dapat diukur secara andal.
  49. Kinerja: Hubungan antara penghasilan dan beban suatu entitas, sebagaimana dilaporkan dalam laporan laba rugi.
  50. Kontrak konstruksi: Suatu kontrak yang dinegosiasikan secara khusus untuk konstruksi suatu aset atau kombinasi aset yang berhubungan secara erat atau saling tergantung dalam hal desain, teknologi, dan fungsi, atau tujuan atau pemakaian.
  51. Laba: Jumlah residual yang tersisa setelah beban dikurangkan dari penghasilan.
  52. Laporan arus kas: Laporan keuangan yang menyajikan informasi mengenai perubahan kas dan setara kas entitas selama periode tertentu, menunjukkan secara terpisah perubahan dalam periode tersebut dari aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan.
  53. Laporan keuangan: Laporan yang menggambarkan posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas.
  54. Laporan keuangan untuk tujuan umum: Laporan keuangan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan bersama sebagian besar pengguna laporan keuangan, misalnya, pemegang saham, kreditor, pekerja, dan masyarakat dalam arti luas.
  55. Laporan laba rugi: Laporan keuangan yang menyajikan informasi mengenai kinerja entitas selama satu periode, yaitu hubungan penghasilan dengan beban.
  56. Laporan laba rugi dan saldo laba: Laporan keuangan yang menyajikan laba atau rugi dan perubahan saldo laba untuk suatu periode.
  57. Laporan perubahan ekuitas: Laporan keuangan yang menyajikan laba atau rugi untuk suatu periode, pos penghasilan dan beban yang diakui secara langsung dalam ekuitas pada periode, dampak perubahan kebijakan akuntansi dan koreksi kesalahan pada periode, dan (tergantung format laporan perubahan ekuitas yang dipilih entitas) jumlah transaksi dengan pemilik dalam kapasitas sebagai pemilik selama periode.
  58. Mata uang fungsional: Mata uang utama dalam arti substansi ekonomi, yaitu mata uang utama yang dicerminkan dalam kegiatan operasi entitas. 
  59. Mata uang pelaporan: Mata uang yang digunakan dalam menyajikan laporan keuangan.
  60. Mata uang pencatatan: Mata uang yang digunakan oleh entitas untuk membukukan transaksi.
  61. Mata uang penyajian: Mata uang yang digunakan dalam penyajian laporan keuangan.
  62. Material: Kelalaian untuk mencantumkan (omissions) atau kesalahan dalam mencatat (misstatement) informasi dipandang material jika hal tersebut dapat, secara individual atau kolektif, mempengaruhi keputusan ekonomi pengguna yang diambil atas dasar laporan keuangan. Materialitas tergantung pada besar dan sifat kelalaian dalam mencantumkan (omission) atau kesalahan dalam mencatat (misstatement) dinilai sesuai dengan situasi yang ada di sekitarnya. Besar dan sifat informasi, atau gabungan keduanya, dapat menjadi faktor penentu.
  63. Neraca: Laporan keuangan yang menyajikan hubungan aset, kewajiban dan ekuitas entitas pada waktu tertentu.
  64. Nilai kini: Estimasi kini dari nilai diskonto kini atas arus kas neto masa depan dalam kegiatan usaha normal.
  65. Nilai kini kewajiban imbalan pasti: Nilai kini, tanpa dikurang aset program, ekspektasi pembayaran masa depan yang diperlukan untuk menyelesaikan kewajiban yang terjadi dari jasa pekerja pada periode berjalan dan periode lalu.
  66. Nilai residu: Jumlah yang diperkirakan akan diperoleh saat ini oleh entitas dari pelepasan aset, setelah dikurangi taksiran biaya pelepasan, jika aset tersebut telah mencapai umur dan kondisi yang diharapkan, pada akhir umur manfaatnya.
  67. Nilai wajar: Jumlah dimana suatu aset dapat dipertukarkan, suatu kewajiban diselesaikan, atau suatu instrumen ekuitas dapat dipertukarkan, antara pihak yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar.
  68. Pajak penghasilan: Seluruh pajak domestik dan asing yang didasarkan pada laba kena pajak. Pajak penghasilan juga termasuk pajak-pajak, seperti pajak yang dipotong dan dipungut (witholding taxes), yang terutang oleh entitas anak, entitas asosiasi atau joint ventures atas distribusi kepada entitas pelapor.
  69. Pendapatan: Arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal entitas selama suatu periode ketika arus masuk itu mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal.
  70. Penerapan prospektif : Penerapan kebijakan akuntansi baru untuk transaksi, peristiwa, dan kondisi lain yang terjadi setelah tanggal kebijakan tersebut diubah. 
  71. Penerapan retrospektif: Penerapan suatu kebijakan akuntansi yang baru untuk transaksi, peristiwa dan kondisi lain seolah-olah kebijakan tersebut telah digunakan sebelumnya.
  72. Pengakuan: Proses pemasukan dalam neraca atau laporan laba rugi terhadap seluruh pos yang sesuai definisi unsur dan memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) besar kemungkinan manfaat ekonomi yang terkait dengan pos tersebut akan mengalir dari atau ke entitas; dan (b) pos tersebut memiliki biaya atau nilai yang dapat diukur dengan andal.
  73. Pengembangan: Penerapan temuan riset atau pengetahuan lain pada suatu rencana atau rancangan produksi bahan baku, alat, produk, proses, sistem, atau jasa yang sifatnya baru atau yang mengalami perbaikan yang substansial, sebelum dimulainya produksi komersial atau pemakaian.
  74. Pengendalian: Kemampuan untuk mengatur kebijakan keuangan dan operasi dari suatu entitas untuk mendapatkan manfaat dari kegiatan entitas tersebut.
  75. Pengendalian bersama: Pembagian kendali atas suatu aktivitas ekonomi yang disetujui secara kontraktual. Hal ini terjadi hanya ketika keputusan keuangan dan operasi stratejik yang terkait dengan aktivitas tersebut mensyaratkan persetujuan bulat pihak-pihak berbagi pengendalian (venturer).
  76. Pengendalian bersama entitas: Suatu joint venture yang melibatkan pendirian dari korporasi, persekutuan, atau entitas lain dimana setiap venturer mempunyai kepemilikan. Entitas tersebut beroperasi dalam cara yang sama dengan entitas lain, kecuali adanya suatu perjanjian kontraktual antar venturer untuk membentuk pengendalian bersama atas aktivitas ekonomi entitas tersebut.
  77. Penghasilan: Kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aset, atau penurunan kewajiban, yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal.
  78. Penghentian pengakuan: Pengeluaran dari neraca entitas suatu aset atau kewajiban yang sebelumnya diakui.
  79. Pengukuran: Proses penentuan jumlah moneter dimana unsur-unsur laporan keuangan diakui dan dimasukkan pada neraca dan laporan laba rugi.
  80. Penyajian wajar: Penyajian yang jujur dari pengaruh transaksi, peristiwa dan kondisi lain yang memenuhi definisi dan kriteria pengakuan untuk aset, kewajiban dan beban.
  81. Penyusutan: Alokasi sistematis dari jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aset selama umur manfaatnya.
  82. Periode pelaporan: Periode yang tercakup oleh laporan keuangan atau laporan keuangan interim.
  83. Peristiwa setelah akhir periode pelaporan: Peristiwa-peristiwa, baik menguntungkan maupun tidak menguntungkan, yang terjadi setelah akhir periode pelaporan sampai dengan tanggal penyelesaian laporan keuangan. Ada dua jenis peristiwa setelah akhir periode pelaporan, yaitu: (a) Peristiwa yang memberikan bukti atas suatu kondisi yang telah terjadi pada akhir periode pelaporan (peristiwa setelah akhir periode pelaporan yang memerlukan penyesuaian). (b) Peristiwa yang mengindikasikan timbulnya suatu kondisi setelah akhir periode pelaporan (peristiwa setelah akhir periode pelaporan yang tidak memerlukan penyesuaian).
  84. Persediaan: Aset: (a) yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha biasa; (b) dalam proses produksi untuk penjualan semacan itu; atau (c) dalam bentuk bahan atau perlengkapan untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa.
  85. Perubahan estimasi akuntansi: Penyesuaian jumlah tercatat dari suatu aset atau kewajiban, atau jumlah pemakaian periodik dari suatu aset, sebagai hasil dari penilaian atas status kini dari, dan ekspektasi manfaat dan kewajiban masa depan yang terkait dengan, aset dan kewajiban. Perubahan estimasi akuntansi sebagai hasil dari adanya informasi atau perkembangan baru dan, sehubungan dengan itu, bukan merupakan koreksi kesalahan.
  86. Pesangon pemutusan kontrak kerja: Imbalan kerja terutang sebagai hasil dari: (a) keputusan entitas untuk memberhentikan seseorang sebelum tanggal pensiun normal; atau (b) keputusan entitas memutuskan menyediakan pesangon bagi pekerja yang menerima penawaran mengundurkan diri secara sukarela.
  87. Pihak yang mempunyai hubungan istimewa: Suatu pihak mempunyai hubungan istimewa dengan entitas jika: (a) secara langsung, atau tidak langsung melalui satu atau lebih perantara, pihak tersebut: (i) mengendalikan, dikendalikan oleh, atau berada di bawah pengendalian bersama dengan, entitas (termasuk entitas induk, entitas anak, dan fellow subsidiaries); (ii) memiliki kepemilikan di entitas yang memberikan pengaruh signifikan atas entitas; atau (iii) memiliki pengendalian bersama atas entitas; (b) pihak tersebut adalah entitas asosiasi dari entitas; (c) pihak tersebut adalah joint ventures dimana entitas tersebut merupakan venturer; (d) pihak tersebut adalah personel manajemen kunci entitas atau entitas induknya; (e) pihak tersebut adalah keluarga dekat dari setiap orang yang diuraikan dalam (a) atau (d); (f) pihak tersebut adalah entitas yang dikendalikan, dikendalikan bersama atau dipengaruhi secara signifikan oleh, atau memiliki hak suara secara signifikan, secara langsung atau tidak langsung, setiap orang yang diuraikan dalam (d) atau (e); atau (g) pihak tersebut adalah program imbalan pasca kerja untuk imbalan pekerja entitas, atau setiap entitas yang mempunyai hubungan istimewa dengan entitas tersebut.
  88. Posisi keuangan: Hubungan aset, kewajiban, dan ekuitas entitas yang dilaporkan dalam neraca.
  89. Program imbalan pasca kerja: Pengaturan formal atau informal dimana entitas memberikan imbalan pascakerja bagi satu atau lebih pekerja.
  90. Program imbalan pasti: Program imbalan pasca-kerja yang bukan merupakan program iuran pasti.
  91. Program iuran pasti: Program imbalan pasca-kerja dimana entitas membayar sejumlah iuran tertentu kepada suatu entitas terpisah (dana), sehingga entitas tidak memiliki kewajiban hukum atau kewajiban konstruktif untuk membayar iuran lebih lanjut atau pembayaran manfaat langsung jika dana tidak memiliki aset yang cukup untuk membayar seluruh imbalan pasca kerja sebagai imbalan atas jasa yang diberikan pekerja pada periode berjalan dan lalu.
  92. Program multi-pemberi-kerja: Program iuran pasti atau program imbalan pasti (selain program jaminan sosial nasional) yang: (a) menyatukan aset yang dikontribusi dari beberapa entitas yang tidak berada di bawah pengendalian yang sama; dan (b) menggunakan aset tersebut untuk memberikan imbalan kepada para pekerja yang berasal lebih dari satu entitas, berdasarkan tingkat iuran dan imbalan yang ditentukan tanpa memperhatikan identitas entitas yang mempekerjakan pekerjanya.
  93. Properti investasi: Properti (tanah atau bangunan, bagian bangunan, atau keduanya) yang dikuasai (oleh pemilik atau lessee melalui sewa pembiayaan) untuk menghasilkan sewa, kenaikan nilai, keduanya, dan tidak untuk: (a) digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, atau tujuan administratif; atau (b) dijual dalam kegiatan usaha biasa.
  94. Relevan: Kualitas informasi yang dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pemakai dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa lalu, kini atau mendatang, atau menegaskan atau mengkoreksi evaluasi lalu.
  95. Riset: Penelitian orisinal dan terencana yang dilaksanakan dengan harapan memperoleh ilmu atau pengetahuan dan pemahaman teknis yang baru.
  96. Setara kas: Investasi jangka pendek, bersifat sangat likuid yang siap diubah menjadi kas dalam jumlah yang telah diketahui dengan risiko yang tidak signifikan atas perubahan nilai.
  97. Sewa: Suatu perjanjian dimana lessor memberikan hak kepada lessee untuk menggunakan suatu aset selama periode waktu yang disepakati. Sebagai imbalannya, lessee melakukan pembayaran atau serangkaian pembayaran kepada lessor.
  98. Sewa operasi: Sewa yang tidak mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan suatu aset. Sewa selain sewa operasi adalah sewa pembiayaan.
  99. Sewa pembiayaan: Sewa yang mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan suatu aset. Hak milik pada akhirnya dapat dialihkan, dapat juga tidak dialihkan. Sewa selain sewa pembiayaan adalah sewa operasi.
  100. Tanggal pelaporan: Akhir dari periode terakhir yang tercakup oleh laporan keuangan atau laporan keuangan interim.
  101. Tepat waktu: Penyediaan informasi dalam laporan keuangan dalam batasan waktu keputusan.
  102. Tidak praktis: Penerapan suatu persyaratan dinyatakan tidak praktis ketika entitas tidak bisa menerapkan hal tersebut setelah melakukan setiap usaha yang wajar.
  103. Tingkat bunga tersirat: Untuk lebih jelas dapat ditentukan salah satu dari: (a) tingkat bunga yang berlaku bagi instrumen yang serupa dari penerbit dengan penilaian kredit yang serupa; atau (b) suatu tingkat bunga yang mendiskonto nilai nominal instrumen ke harga jual tunai kini dari barang atau jasa.
  104. Transaksi pihak yang mempunyai hubungan istimewa: Suatu pengalihan sumber daya, jasa, atau kewajiban antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, tanpa memperhatikan apakah suatu harga dibebankan.
  105. Tujuan laporan keuangan: Untuk menyediakan informasi tentang posisi keuangan, kinerja, dan arus kas entitas yang bermanfaat untuk pengambilan keputusan ekonomi oleh sejumlah besar pengguna dimana tidak dalam posisi meminta laporan secara khusus untuk memenuhi kebutuhan informasi tertentu yang mereka butuhkan.
  106. Umur manfaat: Periode selama suatu aset diharapkan tersedia untuk digunakan oleh entitas atau jumlah produksi atau unit serupa yang diekspektasikan akan diperoleh dari aset.
  107. Unsur laporan keuangan: Kelompok yang luas dari pengaruh keuangan transaksi dan peristiwa dan kondisi lain. (a) Unsur-unsur yang terkait secara langsung dengan pengukuran posisi keuangan yaitu aset, kewajiban, dan ekuitas. (b) Unsur-unsur yang terkait secara langsung dengan pengukuran kinerja, yaitu penghasilan dan beban. [***]

IBC Bank BJB dengan Siskeudes Permudah Pengelolaan Keuangan Desa

1/15/2021 Add Comment
IBC Bank BJB dengan Siskeudes Permudah Pengelolaan Keuangan Desa

KeuanganDesa.info, SUKABUMI -
Terobosan dan inovasi dalam pengelolaan keuangan desa dihadirkan Bank BJB di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi Jawa Barat. Inovasi pengelolaan keuangan desa ini hasil kerja sama antara Bank BJB dan Pemkab Sukabumi. Pengelolaan keuangan desa dalam hal ini dalam bentuk integrasi Internet Banking Corporate (IBC) Bank BJB dengan aplikasi Sistem Keuangan Desa (Siskeudes).

Widi Hartoto selaku Pemimpin Divisi Corporate Secretary Bank BJB, mengatakan integrasi sistem pengelolaan keuangan ini dilakukan untuk mempermudah pengelola keuangan desa. Dengan adanya terobosan aplikasi internet banking ini, pemerintah desa dapat melakukan transaksi keuangan kapan saja dengan cepat, tepat, mudah dan aman.

"Dengan integrasi ini, pemerintah desa dapat mengakses fasilitas IBC Bank BJB untuk mempermudah kelancaran transaksi dan pengelolaan keuangan yang akan digunakan untuk mengimplementasikan program-program pembangunan. Langkah ini juga mendukung komitmen pemerintah dalam mengimplementasikan pengelolaan keuangan yang transparan, akuntabel, tertib dan disiplin anggaran," kata Widi Hartoto.

Kehadiran Internet Banking Corporate (IBC) Bank BJB di lingkup pemerintahan desa ini merupakan terobosan dan inovasi yang terbilang baru bagi Bank BJB. Semula, fasilitas IBC hanya disediakan Bank BJB untuk digunakan di level pemerintahan daerah. Dalam upaya mendukung pengelolaan keuangan desa yang lebih optimal, Bank BJB melakukan pembaharuan sistem IBC agar dapat diimplementasikan dalam level administrasi pengelolaan keuangan desa.

Saat ini, sistem IBC Bank BJB telah diperbaharui dan diintegrasikan dengan aplikasi Siskeudes. Sebanyak 381 desa di Kabupaten Sukabumi telah memanfaatkan fasilitas IBC Bank BJB ini, dan dapat diakses secara real-time untuk memudahkan urusan transaksi keuangan desa.

Selain efektif, efisien dan fleksibel karena transaksi dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja, transaksi melalui IBC lebih transparan lantaran transaksi dapat dipantau oleh pihak-pihak terkait yang berkepentingan. ***