Undang-Undang Desa (UU Nomor 6/2014) telah menciptakan terobosan besar dalam menata ulang relasi negara-desa melalui pemberian otonomi yang cukup luas kepada desa berdasarkan asas rekognisi dan subsidiaritas. Namun, peluang politik ini pada dasarnya barulah merupakan kewenangan legal, yang realisasinya dihadapkan pada persoalan-persoalan struktural yang menahun.
Setidaknya ada (tiga) krisis yang tengah terjadi di perdesaan saat ini. Pertama adalah ‘krisis agraria” yang ditandai oleh keterbatasan akses pada tanah dan sumberdaya alam lainnya (beserta kekayaan alam yang dikandungnya). Kedua adalah “krisis ekologi” yang ditandai oleh kemerosotan daya dukung lingkungan sebagai akibat dari kian tingginya tekanan populasi, perubahan penggunaan tanah yang tidak terkendali, dan terutama eksploitasi sumberdaya alam dalam skala besar. Kedua krisis ini secara bersama-sama menciptakan krisis pedesaan. Ketiga adalah ‘krisis sosial’, yang ditandai oleh tidak berjalannya sistem sosial dan politik di dalam komunitas perdesaan yang bermuara adanya ketidakadilan pembagian kesempatan untuk hidup lebih sejahtera di antara kelompok-kelompok warga di perdesaan itu.
Dalam situasi di mana proses “transformasi agraria” terbukti tidak berlangsung seperti skenario yang lazim diyakini, krisis agraria dan ekologi semakin memerosotkan kapasitas sistem ekologi dan sosial, ekonomi, dan politik di perdesaan (yang memang sudah sangat rentan itu) untuk menyediakan sumber penghidupan, jaminan sosial dan acuan nilai bagi warganya. Mereka yang tidak mendapatkan lagi tempat berpijak di desa, dipaksa oleh keadaan untuk mencari penghidupan baru di tempat lain, seringkali dengan mempertaruhkan keselamatan dan hidup mereka. Fenomena migrasi ke kota dan bahkan ke mancanegara, demikian pula pertumbuhan pesat kawasan kumuh di perkotaan, sebenarnya merupakan konsekuensi langsung dari terlemparnya penduduk desa akibat krisis pedesaan ini.
Dalam kaitan ini, kehadiran UU Desa pada dasarnya telah menyediakan peluang politik yang besar bagi desa untuk mengorkestrasi inisiatif-inisiatif perubahan yang sudah dilakukan warga dalam rangka menjawab krisis pedesaan yang diuraikan di atas.
Setidaknya ada 5 (lima) perubahan pokok yang dikandung dalam UU Desa yang baru. Kelima perubahan pokok itu tentu saja diharapkan mampu memperbaiki kualitas kehidupan warga negara yang tinggal di desa-desa Indonesia. Perubahan-perubahan pokok dimaksud adalah sebagaimana secara ringkas dapat di lihat pada diagram berikut.
Meski begitu, beberapa studi mutakhir menunjukkan bahwa kondisi di perdesaan pasca pemberlakukan UU Desa dalam dua tahun terakhir belum menunjukkan perubahan yang cukup berarti. Sambodo & Vel (2016) menemukan bahwa akses pada pelayanan kesehatan masih membutuhkan peran kelompok elit desa. Meski pelayanan kesehatan itu pada dasarnya gratis, biaya transaksional untuk memperolehnya tetap tinggi. Pelayanan kesehatan yang (masih) buruk menimbulkan trauma pada masyarakat sehingga hubungan antara warga (utamanya kelompok marginal) dengan pusat-pusat pelayanan kesehatan masih berjarak.
Mekanisme penanganan masalah ketidakpuasan pelayanan masih sangat rumit dan sulit diakses warga. Demikian pula untuk kasus pendidikan. Motif warga untuk mengikuti program pendidikan masih dilatarbeakangi harapan untuk menjadi pegawai negeri di kemudian hari dan bukan untuk memperbaiki sistem pertanian yang menjadi basih kehidupan hari ini.
Demikian pula, meski pendidikan sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SLTP) pada dasarnya gratis, begitu pula dengan Program Keluarga Harapan (PKH), namun tetap membutuhkan biaya (tunai) tambahan lain (seperti peralatan sekolah dan transportasi), sementara warga kekurangan uang tunai. Kredit murah yang disediakan pemerintah digunakan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dan bukan untuk pengembangan kegiatan ekonomi.
Sementara itu, kajian yang dilakukan oleh Tim SMERU (2016) menunjukkan bahwa partisipasi penduduk miskin dalam perencanaan pembangunan di desa masih tetap rendah (lihat Tabel berikut).
Akibatnya, sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel berikut, alokasi keuangan desa untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh kelompok miskin sangat rendah untuk tidak mengatakannya tidak ada sama sekali.
Mekasnisme perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di tingkat desa juga belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Dokumen-dokumen perencanaan seperti RPJMDes, RKPDes, dan APBDesa belum terhubung secara baik antara satu sama lainnya.
Oleh sebab itu, serangkaian upaya yang ditujukan untuk mengoptimalisasi peluangpeluang baru yang ditawarkan oleh UU Desa merupakan suatu keniscayaan. Untuk itulah Sekolah Desa ini perlu diselenggarakan. ***
Sumber: Buku Modul Sekolah Desa (Pengalaman Belajar Undang-Undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa di Provinsi Jambi, Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan)